Senin, 25 Maret 2013
Satu Lagi Tanda Keberadaan Air di Mars Ditemukan
Mesin penjelajah Mars milik NASA , Curiosity, kembali menyuguhkan informasi baru. Dengan peralatan buatan Rusia, Dynamic Albedo of Neutrons (DAN), Curiosity menemukan bukti adanya hidrogen di Mars yang bisa menjadi petunjuk adanya air.
Deteksi akan keberadaan hidrogen tersebut diperoleh dalam penjelajahan Curiosity di daerah yang sangat kering di Mars. Dalam penjelajahannya, mesin itu mendeteksi kebanyakan hidrogen berada dalam bentuk molekul air (H2O) yang berikatan dengan mineral.
"Kami melihat variasi sinyal di sepanjang lintasan dari tempat pendaratan menuju Teluk Yellowknife," kata Maxim Litvak dari Space Research Institute Moscow yang juga DAN Deputy Principal Investigator.
"Lebih banyak air terdeteksi di Teluk Yellowknife daripada lokasi sebelumnya. Meski demikian, di Teluk Yellowknife kami juga melihat adanya perbedaan yang signifikan," tambahnya seperti dikutip Physorg, Senin (18/3/2013).
Tim peneliti juga menjelaskan bahwa mereka menemukan indikasi bahwa proses lingkungan basah yang memproduksi tanah liat (clay) di Teluk Yellowknife terjadi tanpa membuat banyak perubahan pada campuran elemen kimia yang ada saat ini.
Komposisi elemen dari batuan permukaan yang digali oleh Curiosity cocok dengan komposisi batuan basal. Batuan yang digali mengandung proporsi elemen penyusun, seperti silikon, aluminum, magnesium, dan besi yang menyerupai komposisi batuan basal.
"Komposisi unsur dalam batuan di Yellowknife tidak berubah banyak oleh perubahan mineral," kata anggota tim peneliti lain misi ini, Mariek Schmidt, dari Brock University di Kanada.
"Setelah membersihkan debu, kami mendapat hasil analisis yang menunjukkan kalau klasifikasi batuan di sana adalah batuan dengan komposisi seperti batuan basal," jelasnya.
Sebelum debu yang melekat di batuan dibersihkan, peneliti sempat kebingungan karena komposisi debu tersebut. Berdasarkan hasil analisis instrumen Alpha Particle X-ray Spectrometer (APXS), komposisi unsurnya kurang sesuai untuk dikategorikan sebagai batuan basal karena ada sulfur.
Namun, setelah debu tersebut dibersihkan oleh Curiosity menggunakan sikat, APXS melihat tidak terlalu banyak sulfur di batuan tersebut. Hal ini yang mengindikasikan kalau batuan itu memiliki komposisi unsur yang serupa dengan batuan basal.
Peneliti menduga, batu-batuan dasar di Yellowknife terbentuk ketika batuan basal original hancur menjadi pecahan, kemudian mengalami perpindahan dan terkumpulkan kembali sebagai partikel sedimen dan berubah secara mineral ketika terkena air.
sumber : sains.kompas.com
Sabtu, 23 Maret 2013
Batu Putih "Tintina" dan Misteri Air di Mars
Robot milik NASA yang tengah menjalankan misi di Mars, Curiosity, secara
tidak sengaja menghancurkan batu dengan interior berwarna putih.
Penemuan batu putih di lokasi berjuluk "Planet Merah" itu makin
menguatkan pernah adanya air di Mars.
Sebab, warna putih ini mengindikasikan mineral terhidrasi yang terbentuk ketika air mengalir di masa lampau. Demikian hasil penemuan ini dimumkan oleh anggota misi Curiosity di 44th Lunar and Planetary Science Conference (LPSC) di Woodlands, Texas, Amerika Serikat, Selasa (19/3/2013).
Curiosity menemukan Tintina (nama batu putih itu) ketika menjelajahi Kawah Gale di dekat ekuator Mars pada Minggu (17/3/2013). Penemuan tidak sengaja ini terjadi ketika Curiosity menginjak Tintina dan membuka isi di dalamnya.
"Ini adalah salah satu benda paling terang dan paling putih yang pernah kami lihat menggunakan Mastcam di Kawah Gale," kata Melissa Rice dari The California Institute of Technology (Caltech).
Tintina, tambah Rice, memiliki sinyal hidrasi tinggi yang berhubungan dengan semua materi putih yang ada di dalam batu. Ini mengherankan bagi para peneliti karena sinyal hidrasi lain tidak tampak dalam imaji Mars yang ditampilkan Curiosity.
Penemuan ini hanya berselang sepekan setelah Curiosity menemukan mineral liat dalam batu yang digalinya. Zat-zat yang terkandung di dalamnya termasuk belerang, nitrogen, hidrogen, oksigen, fosfor, dan karbon—mengindikasikan bahwa Mars pernah menunjang kehidupan.
Kepala peneliti John Grotzinger menyebutkan, pihaknya sangat antusias dengan penemuan Tintina. Hal ini juga menunjukkan bahwa Kawah Gale merupakan lingkungan yang bisa didiami.
Sebab, warna putih ini mengindikasikan mineral terhidrasi yang terbentuk ketika air mengalir di masa lampau. Demikian hasil penemuan ini dimumkan oleh anggota misi Curiosity di 44th Lunar and Planetary Science Conference (LPSC) di Woodlands, Texas, Amerika Serikat, Selasa (19/3/2013).
Curiosity menemukan Tintina (nama batu putih itu) ketika menjelajahi Kawah Gale di dekat ekuator Mars pada Minggu (17/3/2013). Penemuan tidak sengaja ini terjadi ketika Curiosity menginjak Tintina dan membuka isi di dalamnya.
"Ini adalah salah satu benda paling terang dan paling putih yang pernah kami lihat menggunakan Mastcam di Kawah Gale," kata Melissa Rice dari The California Institute of Technology (Caltech).
Tintina, tambah Rice, memiliki sinyal hidrasi tinggi yang berhubungan dengan semua materi putih yang ada di dalam batu. Ini mengherankan bagi para peneliti karena sinyal hidrasi lain tidak tampak dalam imaji Mars yang ditampilkan Curiosity.
Penemuan ini hanya berselang sepekan setelah Curiosity menemukan mineral liat dalam batu yang digalinya. Zat-zat yang terkandung di dalamnya termasuk belerang, nitrogen, hidrogen, oksigen, fosfor, dan karbon—mengindikasikan bahwa Mars pernah menunjang kehidupan.
Kepala peneliti John Grotzinger menyebutkan, pihaknya sangat antusias dengan penemuan Tintina. Hal ini juga menunjukkan bahwa Kawah Gale merupakan lingkungan yang bisa didiami.
sumber : sains.kompas.com
Jumat, 22 Maret 2013
Foto Cassini Tunjukkan "Bekas Luka" di Bulan Saturnus
Tanggal 10 Maret 2013 lalu, NASA menerima beberapa citra tentang bulan
Saturnus, Rhea, yang berhasil dipotret oleh wahana antariksa Cassini
pada hari sebelumnya.

"Silakan pandangi, amati, dan cermati pemandangan yang indah dan menakjubkan dari dunia lain ini. Gambar-gambar ini akan menjadi citra close-up terakhir bulan ini yang bisa Anda lihat," kata Carolyn Porco, ketua tim pencitraan Cassini, seperti dikutip Space.com, Jumat (15/3/2013) lalu.
Perjumpaan terakhir wahana Cassini dengan Bulan Rhea dilakukan dengan lintasan dekat yang berjarak 997 km. Perlintasan jarak dekat Cassini terhadap bulan milik Saturnus yang berdiameter 1.527 km itu dirancang untuk menghitung medan gravitasi bulan tersebut.
Saat melintas, Cassini diatur untuk mengambil 12 gambar dari Rhea yang menunjukkan berbagai "bekas luka" yang ada di permukaan bulan yang dingin itu. "Bekas luka" mencakup gambar cekungan atau kawah dan retakan panjang misterius yang disebut "graben".
Rhea adalah bulan kedua terbesar dari
60 bulan yang dimiliki Saturnus. Bulan ini ditemukan kali pertama oleh
Giovanni Domenico Cassini, seorang ahli matematika dan astronom, pada
tahun 1672.
Rhea berdiameter 1.528 km, jauh lebih kecil dari bulan terbesar Saturnus, Titan, yang berukuran 5.150 km. Bulan ini memiliki atmosfer yang ringan, yang didominasi oleh oksigen dan karbon dioksida.
Berdasarkan hasil penelitian pada tahun 2010 lalu, oksigen pada Rhea dibebaskan dari es di permukaannya lewat aliran partikel bermuatan. Sementara itu, asal usul karbon dioksida masih misterius.
Cassini merupakan kerja sama NASA dengan European Space Agency (ESA) dan Italian Space Agency yang diluncurkan pada 1997. Cassini sampai di Saturnus pada tahun 2004. Sejak saat itu, wahana ini terus mempelajari Saturnus berikut bulan-bulan yang dimilikinya. Misi ini akan terus dilanjutkan sampai tahun 2017.
Rhea berdiameter 1.528 km, jauh lebih kecil dari bulan terbesar Saturnus, Titan, yang berukuran 5.150 km. Bulan ini memiliki atmosfer yang ringan, yang didominasi oleh oksigen dan karbon dioksida.
Berdasarkan hasil penelitian pada tahun 2010 lalu, oksigen pada Rhea dibebaskan dari es di permukaannya lewat aliran partikel bermuatan. Sementara itu, asal usul karbon dioksida masih misterius.
Cassini merupakan kerja sama NASA dengan European Space Agency (ESA) dan Italian Space Agency yang diluncurkan pada 1997. Cassini sampai di Saturnus pada tahun 2004. Sejak saat itu, wahana ini terus mempelajari Saturnus berikut bulan-bulan yang dimilikinya. Misi ini akan terus dilanjutkan sampai tahun 2017.
sumber : sains.kompas.com
Voyager Mencapai Batas Luar Tata Surya
Wahana antariksa Voyager 1 yang diluncurkan tahun 1977 untuk
mengekplorasi planet-planet yang ada di luar sabuk asteroid, seperti
Jupiter, Saturnus, Uranus, dan Neptunus, kini telah melewati daerah baru
dalam perjalanannya keluar dari Tata Surya.
Hal ini terungkap dari dua perubahan kondisi lingkungan luar angkasa yang sangat berbeda dan saling terhubung, yang terdeteksi oleh wahana tersebut pada lokasi yang berjarak lebih dari 18 miliar km dari Bumi pada tanggal 25 Agustus 2012 lalu.
Satelit Voyager 1 menangkap perubahan yang drastis pada tingkatan radiasi, di mana satu radiasi berasal dari lingkungan di dalam sistem Tata Surya dan satunya lagi datang dari interstellar space.
Bill Webber, Astronom di New Mexico State University di Meksiko, mengatakan, pada heliosphere, Voyager 1 mendeteksi partikel yang ada di dalam sistem Tata Surya menurun kurang dari 1 persen dari yang terdeteksi sebelumnya. Sementara radiasi interstellar space meningkat hampir dua kali lipat.
Meski demikian, peneliti belum menyatakan bahwa Voyager 1 sudah berada di interstellar space, suatu ruang di luar angkasa yang tidak lagi dipengaruhi oleh efek dari Matahari.
Edward Stone, peneliti yang terlibat dalam proyek Voyager, mengatakan, masih diperlukan bukti tambahan yang mengindikasikan Voyager telah meninggalkan sistem Tata Surya.
“Perubahan arah medan magnet adalah indikator penting terakhir yang menandakan bahwa Voyager 1 telah mencapai interstellar space. Hingga saat ini perubahan arah tersebut belum teramati,” jelasnya.
Peneliti menduga bahwa Voyager 1 saat ini mungkin berada di daerah perbatasan antara heliosphere dan interstellar space yang belum pernah diketahui sebelumnya.
“Wahana ini berada di luar heliosphere,” kata Webber yang dikutip Reuters, Rabu (20/3/2013). “Segala hal yang kami ukur berbeda dan ini menarik,” tambahnya.
Pada bulan Desember, Voyager telah mencapai daerah yang disebut magnetic highway, di mana medan magnet yang berasal dari Matahari terhubung dengan medan magnet lain dari interstellar space.
“Kami percaya bahwa ini adalah langkah terakhir dari perjalanan kita menuju interstellar space. Ini diperkirakan dalam beberapa bulan atau beberapa tahun ke depan," kata Stone.
Hal ini terungkap dari dua perubahan kondisi lingkungan luar angkasa yang sangat berbeda dan saling terhubung, yang terdeteksi oleh wahana tersebut pada lokasi yang berjarak lebih dari 18 miliar km dari Bumi pada tanggal 25 Agustus 2012 lalu.
Satelit Voyager 1 menangkap perubahan yang drastis pada tingkatan radiasi, di mana satu radiasi berasal dari lingkungan di dalam sistem Tata Surya dan satunya lagi datang dari interstellar space.
Bill Webber, Astronom di New Mexico State University di Meksiko, mengatakan, pada heliosphere, Voyager 1 mendeteksi partikel yang ada di dalam sistem Tata Surya menurun kurang dari 1 persen dari yang terdeteksi sebelumnya. Sementara radiasi interstellar space meningkat hampir dua kali lipat.
Meski demikian, peneliti belum menyatakan bahwa Voyager 1 sudah berada di interstellar space, suatu ruang di luar angkasa yang tidak lagi dipengaruhi oleh efek dari Matahari.
Edward Stone, peneliti yang terlibat dalam proyek Voyager, mengatakan, masih diperlukan bukti tambahan yang mengindikasikan Voyager telah meninggalkan sistem Tata Surya.
“Perubahan arah medan magnet adalah indikator penting terakhir yang menandakan bahwa Voyager 1 telah mencapai interstellar space. Hingga saat ini perubahan arah tersebut belum teramati,” jelasnya.
Peneliti menduga bahwa Voyager 1 saat ini mungkin berada di daerah perbatasan antara heliosphere dan interstellar space yang belum pernah diketahui sebelumnya.
“Wahana ini berada di luar heliosphere,” kata Webber yang dikutip Reuters, Rabu (20/3/2013). “Segala hal yang kami ukur berbeda dan ini menarik,” tambahnya.
Pada bulan Desember, Voyager telah mencapai daerah yang disebut magnetic highway, di mana medan magnet yang berasal dari Matahari terhubung dengan medan magnet lain dari interstellar space.
“Kami percaya bahwa ini adalah langkah terakhir dari perjalanan kita menuju interstellar space. Ini diperkirakan dalam beberapa bulan atau beberapa tahun ke depan," kata Stone.
sumber : sains.kompas.com
Pluto Akan Menabrak Neptunus?
Pluto, benda langit yang kini dikategorikan sebagai planet kerdil,
mempunyai sekian banyak keunikan. Salah satu keunikan yang dimiliki
adalah orbitnya dalam mengelilingi Matahari sebagai pusat Tata Surya.

Gosip pernah beredar bahwa dengan adanya titik potong tersebut, Pluto suatu saat akan mengalami tabrakan dengan Neptunus. Tabrakan itu boleh jadi menjadi tabrakan benda langit paling besar di Tata Surya. Benarkah?
Studi para astronom membantah hal tersebut. Diuraikan dalam situs web Universe Today, Pluto mempunyai resonansi 3:2 dengan Neptunus. Ini artinya, setiap Neptunus berevolusi tiga kali mengelilingi Matahari, Pluto berevolusi dua kali.
Berdasarkan hal tersebut, Pluto tak akan bertabrakan dengan Neptunus. Keduanya akan selalu berakhir pada posisi yang sama. Hal tersebut memerlukan waktu 500 tahun. Pluto sendiri mengorbit Matahari selama 248 tahun.
Meski demikian, akibat orbit Pluto yang "aneh", fenomena unik memang pernah terjadi. Dahulu, Pluto berjarak lebih dekat dengan Matahari dibandingkan dengan Neptunus. Hal ini pernah terjadi pada 7 Februari 1979 hingga 11 Februari 1999. Sebelumnya, pernah terjadi pula tahun 1700-an.
Pluto ditetapkan sebagai planet kerdil karena beberapa alasan, selain tentang orbit, juga soal ukurannya. Walau bukan planet lagi, studi tentang Pluto terus dilakukan. Terakhir, terungkap bahwa Pluto mungkin mempunyai 10 bulan.
sumber : sains.kompas.com
Selasa, 19 Maret 2013
Seperempat Bintang di Bimasakti Menyimpan "Bumi"
Berdasarkan data yang diperoleh dari teleskop luar angkasa NASA, Kepler,
astronom mengestimasi hampir seperempat bintang yang menyerupai
Matahari di Galaksi Bimasakti menjadi induk dari planet-planet yang
berukuran 1-3 kali ukuran Bumi.
Fakta ini diungkapkan oleh Geoff
Marcy, profesor bidang astronomi di University of California, Berkeley,
ketika diskusi di acara WM Keck Observatory 20th Anniversary Science
Meeting di Hawaii, Kamis (14/3/2013).
Marcy terkejut karena 23 persen bintang serupa matahari yang ada di Galaksi Bimasakti merupakan bintang induk dari planet-planet seukuran Bumi. Planet mengorbit cukup dekat dengan Matahari, seperti halnya Merkurius.
Marcy menduga, sedikitnya ada 17 miliar planet seukuran Bumi yang ada di dalam galaksi Bimasakti. Estimasi ini dilakukan menggunakan data dari teleskop Kepler.
Di sisi lain, data Kepler menunjukkan bahwa planet berukuran lebih kecil dari Bumi tak banyak. Ia ragu bahwa langkanya planet itu akibat mekanisme penghancuran planet-planet kecil di sekitar bintang. Hal itu lebih dipengaruhi kemampuan alat yang masih terbatas.
"Teleskop Kepler didesain untuk menemukan planet yang seukuran Bumi, bukan yang berukuran lebih kecil dari Bumi," kata Marcy.
"Planet yang lebih kecil dari Bumi lebih sulit dideteksi karena planet-planet itu kurang mampu meredupkan cahaya dari bintangnya. Peredupan itu harus lebih besar dibandingkan dengan noise yang muncul agar sebuah planet dapat diamati," ujarnya seperti dikutip Discovery, Jumat (15/3/2013).
Kepler berhasil menemukan planet berukuran kecil bernama Kepler-37b. Ukuran planet itu lebih kecil dari Merkurius.
Marcy terkejut karena 23 persen bintang serupa matahari yang ada di Galaksi Bimasakti merupakan bintang induk dari planet-planet seukuran Bumi. Planet mengorbit cukup dekat dengan Matahari, seperti halnya Merkurius.
Marcy menduga, sedikitnya ada 17 miliar planet seukuran Bumi yang ada di dalam galaksi Bimasakti. Estimasi ini dilakukan menggunakan data dari teleskop Kepler.
Di sisi lain, data Kepler menunjukkan bahwa planet berukuran lebih kecil dari Bumi tak banyak. Ia ragu bahwa langkanya planet itu akibat mekanisme penghancuran planet-planet kecil di sekitar bintang. Hal itu lebih dipengaruhi kemampuan alat yang masih terbatas.
"Teleskop Kepler didesain untuk menemukan planet yang seukuran Bumi, bukan yang berukuran lebih kecil dari Bumi," kata Marcy.
"Planet yang lebih kecil dari Bumi lebih sulit dideteksi karena planet-planet itu kurang mampu meredupkan cahaya dari bintangnya. Peredupan itu harus lebih besar dibandingkan dengan noise yang muncul agar sebuah planet dapat diamati," ujarnya seperti dikutip Discovery, Jumat (15/3/2013).
Kepler berhasil menemukan planet berukuran kecil bernama Kepler-37b. Ukuran planet itu lebih kecil dari Merkurius.
sumber : sains.kompas.com
Selasa, 12 Maret 2013
Foto Pertama Venus Diintip dari Saturnus
Baru-baru ini, NASA memublikasikan dua foto planet Venus yang diambil dari sebuah satelit yang mengorbit di Planet Saturnus.
Satelit yang bernama Cassini, yang merupakan satelit hasil kerjasama antara NASA, European Space Agency, dan Italian Space Agency, telah memotret Venus pada dua posisi berbeda di waktu yang berbeda.
Diberitakan Space, Minggu (3/1/2013), Foto planet Venus pertama diambil tanggal 10 November 2012. Saat itu, Cassini berjarak 802.000 km dari Saturnus, dan kira-kira 1,42 milyar km dari Venus.
Pada foto pertama, Venus tampak seperti titik kecil berwarna putih terang yang terletak di sebelah kanan atas sedikit dari tengah-tengah cincin Saturnus. Ini karena jarak yang begitu jauh antara satelit dengan Venus.
Posisi satelit saat memotret, berada sedikit di bawah cincin saturnus saat satelit berada di balik bayangan Saturnus. Setiap piksel dari foto ini mencakup area seluas 44 km.
Foto kedua memperlihatkan Venus dari Saturnus pada posisi yang berbeda. Pada foto yang diambil pada tanggal 4 Januari 2013, Venus terletak di bagian atas foto, terhimpit diantara Saturnus, lengkungan sayap dan cincin G (cincin tipis yang terletak di bagian luar cincin Saturnus).
Setiap piksel pada foto ini mewakili area seluas 32 km. Jarak antara satelit Cassini dengan kedua planet (Saturnus dan Venus) pada waktu pemotretan ini lebih dekat dibandingkan pemotretan yang pertama. Kali ini, Cassini hanya berjarak 597.000 km dari Saturnus dan 1,37 milyar km dari Venus.
Foto ini bukanlah intipan pertama Cassini. Sebelumnya, Cassini pernah mengambil foto bumi yang begitu memukau, yang menggambarkan posisi bumi dilihat dari planet Saturnus. Foto yang kemudian diberi judul “Dalam Bayangan Saturnus” diambil pada tahun 2006. Foto ini adalah salah satu foto yang paling populer yang berhasil diambil Cassini sampai saat ini.
Satelit Cassini diluncurkan ke luar angkasa pada tahun 1997 dan mulai mengorbit di Saturnus pada tahun 2004. Tugas utama satelit ini dikirim ke Saturnus adalah untuk mempelajari planet bercincin berikut dengan bulan-bulannya yang begitu banyak. Saat ini, satelit ini tengah dalam perpanjangan misinya sampai dengan akhir tahun 2017.
Satelit yang bernama Cassini, yang merupakan satelit hasil kerjasama antara NASA, European Space Agency, dan Italian Space Agency, telah memotret Venus pada dua posisi berbeda di waktu yang berbeda.
Diberitakan Space, Minggu (3/1/2013), Foto planet Venus pertama diambil tanggal 10 November 2012. Saat itu, Cassini berjarak 802.000 km dari Saturnus, dan kira-kira 1,42 milyar km dari Venus.
Pada foto pertama, Venus tampak seperti titik kecil berwarna putih terang yang terletak di sebelah kanan atas sedikit dari tengah-tengah cincin Saturnus. Ini karena jarak yang begitu jauh antara satelit dengan Venus.
Posisi satelit saat memotret, berada sedikit di bawah cincin saturnus saat satelit berada di balik bayangan Saturnus. Setiap piksel dari foto ini mencakup area seluas 44 km.
Foto kedua memperlihatkan Venus dari Saturnus pada posisi yang berbeda. Pada foto yang diambil pada tanggal 4 Januari 2013, Venus terletak di bagian atas foto, terhimpit diantara Saturnus, lengkungan sayap dan cincin G (cincin tipis yang terletak di bagian luar cincin Saturnus).
Setiap piksel pada foto ini mewakili area seluas 32 km. Jarak antara satelit Cassini dengan kedua planet (Saturnus dan Venus) pada waktu pemotretan ini lebih dekat dibandingkan pemotretan yang pertama. Kali ini, Cassini hanya berjarak 597.000 km dari Saturnus dan 1,37 milyar km dari Venus.
Foto ini bukanlah intipan pertama Cassini. Sebelumnya, Cassini pernah mengambil foto bumi yang begitu memukau, yang menggambarkan posisi bumi dilihat dari planet Saturnus. Foto yang kemudian diberi judul “Dalam Bayangan Saturnus” diambil pada tahun 2006. Foto ini adalah salah satu foto yang paling populer yang berhasil diambil Cassini sampai saat ini.
Satelit Cassini diluncurkan ke luar angkasa pada tahun 1997 dan mulai mengorbit di Saturnus pada tahun 2004. Tugas utama satelit ini dikirim ke Saturnus adalah untuk mempelajari planet bercincin berikut dengan bulan-bulannya yang begitu banyak. Saat ini, satelit ini tengah dalam perpanjangan misinya sampai dengan akhir tahun 2017.
sumber : sains.kompas.com
Kehidupan Bisa Dicari di Sekeliling Bintang Sekarat
21.31
No comments
Kehidupan mungkin saja ditemukan di tempat yang terduga, seperti di
sekeliling bintang sekarat seperti bintang katai putih hingga di
lingkungan yang berdekatan dengan lubang hitam.
Avi Loeb dari
Harvard University dan Dan Maoz dari Tel Aviv University melakukan
eksperimen dengan membuat spektrum buatan, menguji kemampuan teknologi
teleskop di masa yang akan datang menemukan planet yang mendukung
kehidupan.
Kedua peneliti itu melakukan simulasi pencarian parameter kehidupan (biomarkers) di luar angkasa berbasis teknologi teleskop luar angkasa James Webb Space Telescope (JWST) milik NASA yang akan diluncurkan beberapa tahun yang akan datang.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa teleskop JWST mampu menangkap gambaran tentang beberapa tanda kehidupan seperti keberadaan oksigen (O2) dan juga keberadaan air (H2O) namun pada kondisi tertentu.
Kondisi yang dimaksudkan adalah kondisi dimana planet yang akan diamati berada pada posisi transit terbaik yang bisa dilihat melalui teleskop. Sinar yang dipancarkan oleh bintang induk saat menjadi latar belakang disaat planet transit tidak terlalu terang.
Cahaya bintang induk yang terlalu terang bisa mengganggu proses pengamatan, karena bisa ‘menghilangkan’ sinyal yang muncul dari planet tersebut. Teknik pengamatan planet pada saat transit seperti ini disebut teknik transmission spectroscopy.
Loeb dan Maoz berpendapat, pengamatan bisa dilakukan pada planet yang mengorbit pada bintang yang memasuki fase katai putih. Bintang katai putih adalah bintang dengan bobot rendah, kurang dari 8 kali bobot matahari kita, yang berada pada tahap akhir evolusinya.
“Mendeteksi pertanda kehidupan di atmosfir planet yang menyerupai Bumi disekitar bintang berukuran normal menggunakan JWST, bisa disebut sangat menantang jika tidak ingin disebut mustahil”, kata Maoz seperti dikutip Space, Kamis (28/02/2013).
“Kesulitan diakibatkan sinyal yang sangat lemah, yang tersembunyi dibalik cahaya bintang induknya. Kebaruan dari gagasan ini, seandainya bintang induknya katai putih, maka pancaran sinar dari bintang itu sudah sangat berkurang,” jelasnya.
Hingga saat ini memang belum ada satu pun planet yang mengorbit pada bintang white draft yang berhasil dideteksi. Akan tetapi, dengan menggunakan JWST, penemuan planet layak huni dan kehidupan di dalamnya bukanlah hal yang mustahil.
Kedua peneliti itu melakukan simulasi pencarian parameter kehidupan (biomarkers) di luar angkasa berbasis teknologi teleskop luar angkasa James Webb Space Telescope (JWST) milik NASA yang akan diluncurkan beberapa tahun yang akan datang.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa teleskop JWST mampu menangkap gambaran tentang beberapa tanda kehidupan seperti keberadaan oksigen (O2) dan juga keberadaan air (H2O) namun pada kondisi tertentu.
Kondisi yang dimaksudkan adalah kondisi dimana planet yang akan diamati berada pada posisi transit terbaik yang bisa dilihat melalui teleskop. Sinar yang dipancarkan oleh bintang induk saat menjadi latar belakang disaat planet transit tidak terlalu terang.
Cahaya bintang induk yang terlalu terang bisa mengganggu proses pengamatan, karena bisa ‘menghilangkan’ sinyal yang muncul dari planet tersebut. Teknik pengamatan planet pada saat transit seperti ini disebut teknik transmission spectroscopy.
Loeb dan Maoz berpendapat, pengamatan bisa dilakukan pada planet yang mengorbit pada bintang yang memasuki fase katai putih. Bintang katai putih adalah bintang dengan bobot rendah, kurang dari 8 kali bobot matahari kita, yang berada pada tahap akhir evolusinya.
“Mendeteksi pertanda kehidupan di atmosfir planet yang menyerupai Bumi disekitar bintang berukuran normal menggunakan JWST, bisa disebut sangat menantang jika tidak ingin disebut mustahil”, kata Maoz seperti dikutip Space, Kamis (28/02/2013).
“Kesulitan diakibatkan sinyal yang sangat lemah, yang tersembunyi dibalik cahaya bintang induknya. Kebaruan dari gagasan ini, seandainya bintang induknya katai putih, maka pancaran sinar dari bintang itu sudah sangat berkurang,” jelasnya.
Hingga saat ini memang belum ada satu pun planet yang mengorbit pada bintang white draft yang berhasil dideteksi. Akan tetapi, dengan menggunakan JWST, penemuan planet layak huni dan kehidupan di dalamnya bukanlah hal yang mustahil.
sumber : sains.kompas.com
Sabtu, 09 Maret 2013
Hartley 2: Komet yang Aneh
Komet Hartley 2, secara resmi dikenal sebagai 103P/Hartley, mengunjungi tata surya bagian dalam setiap 6,5 tahun. Komet ditemukan pada tahun 1986 dan menerima kunjungan dari misi NASA, EPOXI, pada tahun 2010. Hal ini diharapkan kembali pada bulan April 2017.
Meskipun sering berkunjung ke matahari, komet ini masih memiliki tubuh kecil yang sangat aktif. NASA menyebut Hartley 2 sebuah "komet sedikit aneh", dan satu astronom NASA menandai Hartley 2 sebagai "sebuah komet kecil yang hiperaktif, memuntahkan air lebih dari komet lainnya kebanyakan ukurannya."
Para ilmuwan mempelajari komet kecil yang telah meningkatkan kemungkinan bahwa komet lebih berperilaku dengan cara yang sama, terutama jika mereka membawa banyak karbondioksida atau monoksida dalam komposisi mereka.
Kunjungan Hartley 2 oleh EPOXI juga mengungkapkan beberapa penemuan ilmiah yang aneh, seperti "blok berkilauan" pada kedua ujung komet.
Tertangkap oleh sebuah kontrol berkualitas
Hartley 2 dinamai penemunya, Malcolm Hartley, astronom yang bekerja untuk Siding Spring Observatory di New South Wales, Australia. Dia telah memegang beberapa peran di fasilitas selama bertahun-tahun, namun pada bulan Maret 1986 dia adalah seorang pengendali kualitas memeriksa akurasi gambar yang diambil oleh teleskop Schmidt.Pada tanggal 16 Maret tahun itu, ia melihat noda yang aneh di piring kaca fotografi. "Waktu itu, pengamatan datang negatif - bintang dan benda-benda lain di langit muncul hitam pada latar belakang yang jelas," kata Hartley dalam wawancara yang disiarkan oleh NASA pada tahun 2011.
"Saya melihat kabut gelap di sekitar jejak Trails dan menunjukkan sesuatu yang bepergian cepat melalui langit, tapi asteroid tidak memiliki kabut.. Jadi saya pikir mungkin komet."
Penemuannya telah dikonfirmasi oleh pusat planet minor International Astronomical Union beberapa hari setelah penemuan. Hartley menemukan setidaknya 10 komet lebih selama karirnya, sampai Siding Spring mengubah teleskop Schmidt ia digunakan untuk melakukan spektroskopi pada tahun 2002.
Meskipun sering berkunjung ke matahari, komet ini masih memiliki tubuh kecil yang sangat aktif. NASA menyebut Hartley 2 sebuah "komet sedikit aneh", dan satu astronom NASA menandai Hartley 2 sebagai "sebuah komet kecil yang hiperaktif, memuntahkan air lebih dari komet lainnya kebanyakan ukurannya."
Para ilmuwan mempelajari komet kecil yang telah meningkatkan kemungkinan bahwa komet lebih berperilaku dengan cara yang sama, terutama jika mereka membawa banyak karbondioksida atau monoksida dalam komposisi mereka.
Kunjungan Hartley 2 oleh EPOXI juga mengungkapkan beberapa penemuan ilmiah yang aneh, seperti "blok berkilauan" pada kedua ujung komet.
Tertangkap oleh sebuah kontrol berkualitas
Hartley 2 dinamai penemunya, Malcolm Hartley, astronom yang bekerja untuk Siding Spring Observatory di New South Wales, Australia. Dia telah memegang beberapa peran di fasilitas selama bertahun-tahun, namun pada bulan Maret 1986 dia adalah seorang pengendali kualitas memeriksa akurasi gambar yang diambil oleh teleskop Schmidt.Pada tanggal 16 Maret tahun itu, ia melihat noda yang aneh di piring kaca fotografi. "Waktu itu, pengamatan datang negatif - bintang dan benda-benda lain di langit muncul hitam pada latar belakang yang jelas," kata Hartley dalam wawancara yang disiarkan oleh NASA pada tahun 2011.
"Saya melihat kabut gelap di sekitar jejak Trails dan menunjukkan sesuatu yang bepergian cepat melalui langit, tapi asteroid tidak memiliki kabut.. Jadi saya pikir mungkin komet."
Penemuannya telah dikonfirmasi oleh pusat planet minor International Astronomical Union beberapa hari setelah penemuan. Hartley menemukan setidaknya 10 komet lebih selama karirnya, sampai Siding Spring mengubah teleskop Schmidt ia digunakan untuk melakukan spektroskopi pada tahun 2002.
sumber : space.com
Ini Dia Foto Pertama Kelahiran Bayi Planet Alien
Kelahiran planet alien alias planet ekstrasolar berhasil diabadikan
untuk pertama kalinya. Astronom berhasil mengabadikannya dengan Very
Large Telescope di European Southern Observatory, Cile.
Foto menunjukkan gumpalan di sekitar piringan gas dan debu, di sekitar bintang HD 100546. Menurut astronom, gumpalan tersebut merupakan bayi planet gas raksasa, jenis planet seperti Jupiter yang merupakan terbesar di tata surya.
"Sejauh ini, pembentukan planet merupakan sesuatu yang biasa ditangani dengan simulasi komputer saja," kata Sascha Quanz, astronom dari ETH Zurich di Swiss, yang memimpin proyek ini, seperti dikutip Space, Kamis (28/2/2013).
"Jika penemuan ini memang planet yang sedang terbentuk, untuk pertama kali, ilmuwan bisa mempelajari bagaimana proses pembentukan planet serta interaksi planet yang sedang terbentuk dengan lingkungannya," tambahnya.
Bintang HD 10546, yang berada pada jarak 335 tahun cahaya dari Bumi, diketahui telah memiliki sebuah planet, berjarak 6 kali jarak Bumi-Matahari dari bintangnya. Sementara planet yang baru terbentuk ini punya jarak 10 kali lebih jauh dibandingkan saudaranya.
Foto menunjukkan bahwa proses pembentukan planet serupa dengan gambaran para astronom. Bintang terbentuk di awan gas dan debu. Setelahnya, material sisanya mengorbit bintang. Material ini yang berpotensi terbentuk menjadi planet.
Foto menunjukkan adanya struktur di piringan yang mengelilingi bintang, diduga terbentuk akibat interaksi material dengan planet yang sedang terbentuk. Data menunjukkan, gumpalan planet mengalami pemanasan, persis seperti hipotesis proses pembentukan planet.
Gambaran pembentukan planet pertama ini bisa didapatkan berkat instrumen optik NACO di Very Large Telescope. Instrumen menggunakan koronagraf spesial yang mengobservasi langit berbasis inframerah serta mampu menyaring terang cahaya bintang.
Observasi planet ekstrasolar merupakan wilayah astronomi yang kini berkembang. Sementara pencitraan proses kelahiran planet sendiri masih sangat baru. Hasil riset ini dipublikasikan di Astrophysical Journal, Kamis kemarin.
sumber : sains.kompas.com
Komet Pan-STARRS Capai Jarak Terdekat dengan Bumi
Untuk pertama kali dalam 110.000 tahun terakhir, komet Pan-STARRS
memasuki wilayah dalam Tata Surya. Dan, hari ini adalah puncaknya. Komet
ini mencapai jarak terdekatnya dengan Bumi, "hanya" 147 juta kilometer
dari Bumi.
Untuk menuju Bumi, komet Pan-STARRS menempuh jarak yang bukan main jauhnya. Saat ditemukan, jaraknya mencapai ratusan juta kilometer dari Bumi.
Komet ini ditemukan pada 6 Juni 2011 lewat pengamatan dengan teleskop Pan-STARRS di Haleakala, Hawaii. Saat ditemukan, magnitud komet hanya +19. Magnitud menyatakan kecerlangan benda langit. Jika negatif, benda langit sangat terang. Dengan magnitud +19, komet Pan-STARRS sangat redup.
Mencapai jarak terdekat dengan BUmi, logikanya komet ini bisa disaksikan dengan lebih jelas. Namun, ternyata tak demikian.
Analisis astronom amatir Gary W. Kronk seperti dipublikasikan di situs cometchasing.skyhound.com menyatakan bahwa hanya wilayah tertentu saja yang bisa menyaksikannya. Sejak Sabtu (2/3/2012) lalu, komet ini hanya tampak di wilayah 30 derajat Lintang Selatan.
Astronom amatir Ma'rufin Sudibyo mengatakan, waktu terbaik melihat Pan-STARRS dari wilayah ekuator seperti Indonesia bukan pada saat posisi terdekat dengan Bumi, tapi saat perihelion.
Perihelion adalah saat komet mencapai jarak terdekat dengan Matahari. "Simulasi terakhir menunjukkan kalau Pan-STARRS bakal membentuk ekor panjang, sepanjang paling tidak 5 derajat kala di perihelion," kata Ma'rufin lewat percakapan Facebook beberapa waktu lalu.
Perihelion akan dicapai Pan-STARRS pada Minggu (10/2/2013). Meski dikatakan akan tampak terang, magnitud pan-STARRS sendiri nanti hanya +2. Jadi, komet ini masih akan tampak redup.
Wilayah Indonesia sendiri sudah tak bisa melihat komet ini setelah 16 Maret 2013. Pertengahan hingga akhir Maret, giliran belahan utara Bumi yang bisa menyaksikan. Untuk soal pengamatan komet Pan-STARRS, Indonesia memang sedikit sial.
Walau begitu, beberapa foto telah berhasil diabadikan. Astrofotografer Luis Argeric. Ia berhasil menangkap citra komet ini dari Buenos Aires dengan magnitud +4 minggu akhir Februari lalu. paling tidak, foto komet itu bisa mengobati jika keinginan melihat nanti tak terwujud.
Untuk menuju Bumi, komet Pan-STARRS menempuh jarak yang bukan main jauhnya. Saat ditemukan, jaraknya mencapai ratusan juta kilometer dari Bumi.
Komet ini ditemukan pada 6 Juni 2011 lewat pengamatan dengan teleskop Pan-STARRS di Haleakala, Hawaii. Saat ditemukan, magnitud komet hanya +19. Magnitud menyatakan kecerlangan benda langit. Jika negatif, benda langit sangat terang. Dengan magnitud +19, komet Pan-STARRS sangat redup.
Mencapai jarak terdekat dengan BUmi, logikanya komet ini bisa disaksikan dengan lebih jelas. Namun, ternyata tak demikian.
Analisis astronom amatir Gary W. Kronk seperti dipublikasikan di situs cometchasing.skyhound.com menyatakan bahwa hanya wilayah tertentu saja yang bisa menyaksikannya. Sejak Sabtu (2/3/2012) lalu, komet ini hanya tampak di wilayah 30 derajat Lintang Selatan.
Astronom amatir Ma'rufin Sudibyo mengatakan, waktu terbaik melihat Pan-STARRS dari wilayah ekuator seperti Indonesia bukan pada saat posisi terdekat dengan Bumi, tapi saat perihelion.
Perihelion adalah saat komet mencapai jarak terdekat dengan Matahari. "Simulasi terakhir menunjukkan kalau Pan-STARRS bakal membentuk ekor panjang, sepanjang paling tidak 5 derajat kala di perihelion," kata Ma'rufin lewat percakapan Facebook beberapa waktu lalu.
Perihelion akan dicapai Pan-STARRS pada Minggu (10/2/2013). Meski dikatakan akan tampak terang, magnitud pan-STARRS sendiri nanti hanya +2. Jadi, komet ini masih akan tampak redup.
Wilayah Indonesia sendiri sudah tak bisa melihat komet ini setelah 16 Maret 2013. Pertengahan hingga akhir Maret, giliran belahan utara Bumi yang bisa menyaksikan. Untuk soal pengamatan komet Pan-STARRS, Indonesia memang sedikit sial.
Walau begitu, beberapa foto telah berhasil diabadikan. Astrofotografer Luis Argeric. Ia berhasil menangkap citra komet ini dari Buenos Aires dengan magnitud +4 minggu akhir Februari lalu. paling tidak, foto komet itu bisa mengobati jika keinginan melihat nanti tak terwujud.
sumber : sains.kompas.com
Senin, 04 Maret 2013
Ekspedisi Antartika Ungkap Meteorit Raksasa Baru
Batu luar angkasa ditemukan di Antartika. Ukuran batu meteorit tersebut cukup besar. Beratnya mencapai 18 kg.
Tim ilmuwan dari Belgia dan Jepang menemukan meteorit itu saat menjelajahi wilayah dataran tinggi di bagian timur Antartika. Identifikasi awal yang dilakukan menunjukkan bahwa meteorit itu ialah jenis chondrite, jenis meteorit paling umum yang ditemukan.
"Ini adalah meteorit terbesar yang ditemukan di Antartika timur dalam 25 tahun terakhir," kata Vinciane Debaille, geolog dari Universitas Brussels.
"Ini sesuatu yang sangat istimewa. Ketika kau menemukan meteorit di Bumi, ukuran sebenarnya jauh lebih besar saat masih di antariksa," tambahnya seperti dikutip Livescience, Kamis (28/2/2013).
Setiap tahun, banyak ilmuwan mencari meteorit di Antartika. Lingkungan bersalju, dingin, dan ikllim kering membantu mengawetkan batuan antariksa itu.
Ekspedisi Debaille sendiri berhasil menemukan 425 meteorit dalam 40 hari. Total berat meteorit yang berhasil dikumpulkan mencapai 75 kg. Menurut Debaille, timnya mungkin menemukan meteorit Mars dan meteorit pecahan asteroid Vesta.
Tim ilmuwan dari Belgia dan Jepang menemukan meteorit itu saat menjelajahi wilayah dataran tinggi di bagian timur Antartika. Identifikasi awal yang dilakukan menunjukkan bahwa meteorit itu ialah jenis chondrite, jenis meteorit paling umum yang ditemukan.
"Ini adalah meteorit terbesar yang ditemukan di Antartika timur dalam 25 tahun terakhir," kata Vinciane Debaille, geolog dari Universitas Brussels.
"Ini sesuatu yang sangat istimewa. Ketika kau menemukan meteorit di Bumi, ukuran sebenarnya jauh lebih besar saat masih di antariksa," tambahnya seperti dikutip Livescience, Kamis (28/2/2013).
Setiap tahun, banyak ilmuwan mencari meteorit di Antartika. Lingkungan bersalju, dingin, dan ikllim kering membantu mengawetkan batuan antariksa itu.
Ekspedisi Debaille sendiri berhasil menemukan 425 meteorit dalam 40 hari. Total berat meteorit yang berhasil dikumpulkan mencapai 75 kg. Menurut Debaille, timnya mungkin menemukan meteorit Mars dan meteorit pecahan asteroid Vesta.
sumber : sains.kompas.com
Kamis, 28 Februari 2013
Mars Mungkin Sudah Bisa Dihuni Saat Ini
Planet Mars saat ini memungkinkan untuk dihuni. Pernyataan itu
diungkapkan para peneliti bidang astrobiologi yang menghadiri konferensi
The Present-Day Habitability of Mars yang diprakarsai oleh NASA
Astrobiology Institute bersama UK Centre for Astrobology pada 4 -5
Februari lalu di University of California Los Angeles.
Pada konferensi ini, dipresentasikan berbagai hasil penelitian yang berkaitan dengan kemungkinan menempati Planet Mars sebagai habitat baru. Berbagai bukti dan fakta hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi Planet Mars saat ini memungkinkan untuk ditinggali.
"Kita tidak mungkin dapat mengabaikan kemungkinan bahwa saat ini Mars memungkinkan untuk ditempati," ujar Alfred McEwen dari University of Arizona, yang juga investigator kepala untuk kamera HiRise pada wahana Mars Reconnaissance Orbiter milik NASA seperti dikutip Space.com, Senin (25/2/2013).
McEwen menyebutkan, berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan HiRise, ada 16 lokasi lereng yang teridentifikasi mengalirkan brine water (air yang mengandung garam) di kompleks ngarai Valles Marineris di planet merah itu.
Teknisi Caltech, Edwin Kite, menambahkan adanya kemungkinan terjadinya proses deliquescence yang ikut "bertanggung jawab" pada munculnya cairan di permukaan Mars. Proses deluquescene yang dimaksud adalah proses ketika uap air yang ada di atmosfer dikumpulkan oleh senyawa tertentu yang ada di daratan, yang mengubah uap air itu menjadi cairan.
Namun, temuan McEwen ini masih perlu dikaji lebih lanjut untuk mengetahui apakah air garam yang ditemukan bisa ditempati oleh mikroba, baik mikroba yang berasal dari Mars maupun Bumi.
Fakta lain yang mendukung adalah adalah jenis-jenis mikroba yang mampu hidup pada lingkungan ekstrem yang menyerupai kondisi di Mars. Adalah Chris McKay dari Ames Research Center NASA di Moffett Field, California, yang memberikan contoh yang mendukung hal tersebut.
Ia mencontohkan keberadaan mikroba yang hidup di Gurun Atacama, Amerika Selatan, dan lereng kering di Antartika, yang mampu hidup pada kondisi ekstrem dingin dan kering. Mikroorganisme di kedua tempat tersebut mengembangkan mekanisme tertentu untuk beradaptasi dengan lingkungannya.
Organisme yang hidup di lereng kering di Antartika beradaptasi dengan menggali ke dalam batuan, tidak terlalu dalam, tetapi cukup untuk melindunginya dari sinar UV dan tetap memungkinkan untuk melakukan fotosintesis.
McKay juga mendukung fenomena delisquence. Ia menemukan fenomena yang sama terjadi di Gurun Atacama. Di gurun tersebut, garam-garam yang ada di permukaan tanah mengumpulkan uap air sampai terbentuk aliran air yang cukup untuk menyokong kehidupan di gurun tersebut. Karenanya, ia menyarankan pada teknisi yang bekerja di proyek Mars rover Curiosity NASA agar memberikan perhatian khusus pada garam yang mungkin ditemukan dalam penjelajahannya.
Alasan lain yang mendukung kemungkinan Mars dapat ditinggali adalah adanya sumber energi alternatif yang bisa dimanfaatkan. Sumber energi alternatif yang dimaksud adalah senyawa perklorat.
Careol Stoker, pakar dari NASA Ames, mengatakan, perklorat dapat digunakan sebagai sumber energi potensial untuk mikroba kemoautotrof. Ia menekankan bahwa senyawa kimia itu bisa digunakan sebagai sumber energi untuk kelanjutan hidup mikroba yang hidup di bawah permukaan Mars yang gelap saat fotosintesis tidak mungkin dilakukan. Kemoautrotof adalah kelompok mikroba yang menggunakan senyawa kimia untuk menyusun makanannya.
Stoker menambahkan, beberapa jenis mikroba di Bumi juga menggunakan perklorat sebagai makanan mereka.
sumber : sains.kompas.com
Senin, 25 Februari 2013
Mars Aslinya Berwarna Abu-Abu
Selama ini manusia sering kali beranggapan warna Mars adalah merah karena tampak merah dilihat dari Bumi. Namun, anggapan itu ternyata tak sepenuhnya benar.
Warna merah Mars ternyata hanya sebatas permukaan saja. Fakta ini terungkap dari hasil pengeboran batuan Mars yang dilakukan oleh robot penjelajah Mars milik Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA), Curiosity.
Serbuk batu hasil pengeboran batuan dasar Mars yang dilakukan Curiosity mengungkapkan warna planet tersebut di bawah permukaan adalah abu-abu.
"Kami mulai melihat adanya warna baru dari Mars saat ini. Hal ini menarik perhatian kami," ujar Joel Hurowitz, peneliti sistem sampling Curiosity di Jet Propulsion Laboratory (JPL) NASA di Pasadena, California, kepada Space.com, Rabu (20/2/2013).
Peneliti berpendapat, warna merah diakibatkan oleh kandungan besi pada debu Mars yang mengalami oksidasi atau perkaratan.
Pengeboran memungkinkan ilmuwan mendapatkan debu dengan kandungan besi yang belum mengalami oksidasi. Penyimpanan dalam wadah yang terpasang di wahana antariksa Curiosity mencegah proses oksidasi tersebut.
Sebagaimana diketahui, Curiosity berhasil mengebor batu bernama John Klein untuk kali pertama, pada 8 Februari 2013 lalu.
Pengeboran hingga kedalaman 6,4 cm dibuktikan dengan citra yang dirilis NASA pada Rabu lalu. Analisis serbuk batu nantinya diharapkan dapat menguak kandungan debu Mars serta misteri lingkungan basah Mars pada masa lalu.
sumber : sains.kompas.com
sumber : sains.kompas.com
Jumat, 22 Februari 2013
Merkurius Mini Pecahkan Rekor Planet Terkecil
Astronom menemukan sekitar 800 planet mini di jarak yang jauh dari Tata Surya. Salah satu planet menjadi planet yang terkecil, dengan ukuran cuma sebesar Bulan.
Planet terkecil tersebut diberi nama Kepler 37b. Planet tersebut mengelilingi bintang serupa Matahari, terletak di konstelasi Lyra, sekitar 10 triliun kilometer dari Bumi.
"Kami melihat planet raksasa sangat tak biasa. Planet seukuran Bumi lebih umum, jadi prediksi kami, planet kecil juga umum," ungkap Thomas Barclay, astronom yang terlibat proyek riset ini.
Ukuran planet Kepler-37b ini hanya sedikit lebih besar dari pada Bulan yang mengitari Bumi. Namun, planet tersebut memiliki dua planet kembaran lain, Kepler -37c dan Kepler 37d.
Kepler -37b berjarak 10 kali lebih dekat dari bintangnya dibandingkan dengan Bumi dengan Matahari. Jadi, suhu planet ini sangat panas, mencapai 427 derajat Celsius.
"Planet yang satu ini jauh dari zona layak huni," ungkap Eric Ford, astronom University of Florida, seperti dikutip Reuters, Rabu (20/2/2013).
Pada sistem tata surya kita, Merkurius adalah planet terdekat dengan Matahari. Astronom mengibaratkan Kepler 37b seperti Merkurius mini.
Rekan Kepler -37b, Kepler-37c, berukuran lebih kecil dari Venus dan mengitari bintang induknya selama 21 hari. Sementara Kepler-37d ukurannya dua kali lipat Bumi, berevolusi tiap 40 hari.
Penemuan-penemuan planet kecil adalah kemajuan dalam astronomi. Sebelumnya, astronom cuma dapat mendeteksi planet raksasa.
"Ketika kami pertama kali menemukan eksoplanet, semuanya berukuran jauh lebih besar dari apa yang ada di sistem Tata Surya ini. Kami tak tahu ada planet berukuran lebih kecil," kata Barclay.
"Penemuan ini adalah kali pertama kami dapat menemukan planet dalam rentang terkecil, lebih kecil dari apapun yang ada di sistem tata surya kita," tambahnya.
Planet-planet ini ditemukan dengan metode transit, melihat kedipan cahaya bintang ketika ada planet lewat di mukanya. Makin seikit peredupannya, maka makin kecil planetnya.
sumber : sains.kompas.com
Mengintai dan Menangkis Asteroid
Jatuhnya meteorit atau tertabraknya Bumi oleh asteroid dan komet adalah sebuah keniscayaan. Tapi, kapan hal itu terjadi, tak banyak diketahui manusia. Sejumlah cara dikembangkan para ahli untuk memantau gerak batuan antariksa di sekitar Bumi, juga teknik menangkal saat akan mendekati Bumi.
Musnahnya dinosaurus 65 juta tahun lalu atau terbakarnya hutan seluas Jakarta di Tunguska, Siberia, Rusia, tahun 1908 adalah bukti keganasan batuan antariksa saat menghantam Bumi. Seiring bertambahnya jumlah manusia dan masifnya pertumbuhan kota, ancaman jatuhnya benda-benda langit kian nyata.
”Jatuhnya meteor di Chelyabinsk, Rusia, Jumat (15/2/2013), dan melintasnya asteroid 2012 DA14, Sabtu (16/2/2013), mengingatkan manusia bahwa ribuan obyek seperti itu melintasi di dekat Bumi tiap hari,” kata Ray Williamson, penasihat senior Yayasan Dunia Aman (Secure World Foundation) di sela pertemuan Komite Badan PBB untuk Pemanfaatan Damai Antariksa (Copuos) di Vienna, Austria, seperti dikutip space.com, Minggu (17/2/2013).
Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional Amerika Serikat (NASA) melalui program Widefield Infrared Survey Explorer pada 2011 memperkirakan ada 19.500 asteroid berukuran menengah di dekat Bumi. Asteroid itu berdiameter antara 100 meter dan 1.000 meter.
Sekitar 90 persen asteroid berukuran lebih dari 1.000 meter sudah ditemukan. Adapun yang berdiameter puluhan meter, seperti asteroid 2012 DA14 dan yang jatuh di Tunguska, baru 2 persen yang diketahui. Asteroid berdiameter kurang dari 100 meter diperkirakan berjumlah lebih dari 1 juta buah.
”Makin kecil ukurannya, makin banyak jumlahnya, makin sedikit yang sudah diketahui,” ujar Profesor Riset Astronomi Astrofisika Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Thomas Djamaluddin.
Masih rendahnya pengetahuan manusia tentang asteroid membuat sejumlah program dan wahana antariksa untuk memantau terus dibuat. Salah satunya adalah teleskop antariksa Sentinel yang dikembangkan lembaga swasta yang dikelola sejumlah mantan antariksawan, Yayasan B612.
Rencana pembuatan teleskop inframerah ini diumumkan 28 Juni 2012. Misi utamanya adalah menemukan 90 persen asteroid berukuran lebih dari 140 meter. Teleskop ini seharusnya juga mampu mendeteksi asteroid lebih kecil dalam misinya selama 6,5 tahun.
Ada pula OSIRIS-REx, wahana yang akan diluncurkan tahun 2016. Wahana ini akan mencegat asteroid RQ36 pada 2020 untuk mengambil sampel batuannya dan mempelajari lebih detail karakter orbitnya. Asteroid ini diperkirakan menabrak Bumi 170 tahun mendatang.
Menendang asteroid
Sesudah mendeteksi keberadaan asteroid, langkah selanjutnya adalah menangkis asteroid yang berpotensi membahayakan Bumi. Para ahli sepakat, langkah terbaik menghindarkan Bumi ditabrak asteroid adalah membelokkan lintasan asteroid.
Teknik membelokkan lintasan asteroid beragam. Sejumlah kemungkinan dikaji mengingat obyek yang disasar adalah batuan yang bergerak cepat mengelilingi Matahari dan berotasi.
Asisten Profesor Fisika dan Astronomi di Universitas Anderson, Indiana, AS, John P Millis dalam tulisan di situs space.about.com menyatakan, teknik sederhana yang diusulkan antara lain mengebom asteroid itu dengan nuklir dari Bumi. Ledakan yang ditimbulkan akan menggeser asteroid dari lintasannya.
Robert Lamb, penulis sains di howstuffworks.com menyatakan, pengeboman bukan untuk menghancurkan asteroid, melainkan mengurai sebagian badan asteroid. Berat yang makin ringan akan mengubah jalur asteroid.
Sebagian ahli menilai, pengeboman adalah berlebihan karena batuan asteroid yang keluar bisa menjadi peluru kosmis yang membahayakan kehidupan sekitar Bumi. ”Minimal, bisa membahayakan satelit geostasioner,” kata dosen Dinamika Benda Kecil dalam Tata Surya, Program Studi Astronomi Institut Teknologi Bandung, Budi Dermawan.
Cara lain pun dikembangkan, yaitu mengirim pencegat kinetik (kinetic interceptor). Metode ini mirip permainan bola boling yang menjatuhkan pin hanya dengan sedikit sentuhan. Saat asteroid ditumbuk dengan peralatan berkecepatan 1,6 kilometer per jam, maka asteroid akan bergeser sejauh 273.500 km dari jalur normalnya jika dilakukan 20 tahun sebelumnya.
Lamb menambahkan, ide pembelokan orbit asteroid terkadang seperti bermain-main. Beberapa di antaranya dengan mengecat asteroid dengan warna putih atau memasang layar raksasa di asteroid.
Pantulan sinar warna putih dapat dimanfaatkan sebagai pendorong asteroid. Adapun layar yang dipasang dengan memanfaatkan angin Matahari juga berfungsi sebagai pendorong asteroid menjauhi jalurnya.
Ada pula yang mengusulkan menjerat asteroid dengan serat karbon pada bagian tertentu. Cara lain adalah menempatkan sejumlah roket pada beberapa bagian asteroid untuk mengubah lintasan geraknya.
Namun, banyak ahli pesimistis dengan cara-cara pembelokan orbit asteroid dengan memasang sesuatu pada asteroid. Ini karena implementasi berbagai cara itu tidak semudah dan sesederhana idenya.
”Persoalan ini harus diatasi dengan cara yang logis dan rasional,” kata Philip M Lubin, ahli fisika dari Universitas California, Santa Barbara, AS.
Konversi sinar Matahari
Lubin dan rekan-rekan mengembangkan sistem Directed Energy Solar Targeting of Asteroids and Exploration (DE-STAR). Teknik ini dilakukan dengan menangkap sinar Matahari dan mengonversi menjadi sinar laser pada sebuah panel besar. Sinar ini akan membelokkan jalur asteroid atau menguapkan sebagian badan asteroid.
Elemen dasar yang dibutuhkan untuk mewujudkan wahana ini tersedia cukup banyak. Namun, kesulitannya adalah meningkatkan kapasitas elemen- elemen yang digunakan hingga mampu mengganggu orbit asteroid yang ukurannya cukup besar.
Pengembangan sistem ini pun tak murah. Karena itu, kerja sama antarahli dan badan antariksa global diperlukan untuk menyelamatkan manusia dari ancaman kepunahan.
sumber : sains.kompas.com
Merkurius Pernah Jadi Surga Lautan Magma
Data sains dari wahana NASA yang mengorbit planet Merkurius, MESSENGER (MErcury Surface, Space ENvironment, GEochemistry, and Ranging), memberi petunjuk bahwa planet ini pernah memiliki lautan magma.
Kesimpulan ini didapat setelah para peneliti menganalisa data fluoresensi X-Ray dari wahana tersebut. Mereka mengindentifikasi adanya dua komposisi batu yang berbeda di permukaan planet. Muncul pertanyaan, proses geologi apa yang terjadi sehingga menghasilkan permukaan yang berbeda?
Untuk menjawabnya, tim dari MIT (Massachusetts Institute of Technology) mencipta ulang dua tipe batu tersebut di laboratorium. Masing-masing batu kemudian dipaparkan dengan temperatur dan tekanan tinggi untuk menstimulasi proses geologi yang beragam. Dari hasil percobaan, para peneliti menyadari hanya ada satu fenomena untuk menghasilkan dua komposisi tersebut dalam lautan magma.
Lautan magma yang luas menciptakan dua lapisan kristal, dipadatkan, yang akhirnya menghasilkan letusan magma di permukaan Merkurius. Hebatnya, menurut Timothy Grove sebagai profesor geologi di MIT, kondisi ini tidak terjadi kemarin.
"Lapisan ini mungkin berusia empat miliar tahun lalu, jadi lautan magma ini merupakan fitur purba," ujar Grove yang bersama beberapa peneliti lain mengeluarkan hasil peneliti ini dalam jurnal Earth and Planetary Science Letters.
Ditambahkan Larry Nittler, staf peneliti dari Department of Terrestrial Magnetism di Carnegie Institution of Washington, AS, hasil penelitian ini merupakan petunjuk awal dari sejarah Merkurius. Meski nantinya akan ada perubahan kesimpulan melalui penelitian-penelitian lain, studi ini akan menjadi kerangka awal pemikiran dari data yang baru.
sumber : sains.kompas.com
Rabu, 20 Februari 2013
Galaksi Spiral Terbesar di Jagat Raya
Para astronom mengungkap spiral terbesar di jagat raya, sebuah galaksi spiral yang luar biasa besar, 5 kali lebih besar dari galaksi Bimasakti.
Galaksi spiral terbesar itu bernama NGC 6872. Galaksi ini terletak pada jarak 212 juta tahun cahaya dari Bumi di konstelasi Pavo. Jarak antar dua lengan pada galaksi ini mencapai 522.000 tahun cahaya, sementara pada Bimasakti hanya 100.000 tahun cahaya.
NGC 6872 sebelumnya telah dikategorikan sebagai salah satu galaksi spiral tersebut. Namun, bukti bahwa galaksi itu merupakan yang terbesar baru diperoleh setelah astronom melakukan observasi dengan Galaxy Evolution Explorer spacecraft (GALEX).
"Tanpa kemampuan GALEX mendeteksi cahaya ultraviolet dari bintang muda dan panas, kita tak bisa mengetahui keseluruhan sistem yang menarik ini," kata Rafael Eufrasio dari Goddard Space Flight Center, Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional Amerika Serikat (NASA).
Eufrasio mengumumkan hasil risetnya pada ajang American Astronomy Society ke 221 di Amerika Serikat, Kamis (10/1/2013).
Simulasi komputer menunjukkan, NGC 6872 memiliki ukuran dan bentuk luar biasa karena interaksinya dengan galaksi tetangga, IC 4970. Galaksi itu hanya punya 20 persen massa NGC 6872. Sekitar 130 juta tahun lalu, dua galaksi berada pada posisi terdekat, mempengaruhi aktifitas NGC 6872.
Hasil riset seperti diberitakan Space, Kamis (10/1/2013), juga mengungkap bahwa bar di spiral NGC 6782 memiliki radius yang besar, mencapai 26.000 tahun cahaya. Sejauh ini, tak ada aktifitas pembentukan bintang di wilayah itu. Artinya, struktur itu terbentuk miliaran tahun lalu.
sumber : sains.kompas.com
Planet "Zombie" Berevolusi Tiap 2.000 Tahun
Astronom mengonfirmasi eksistensi planet Fomalhaut b, planet yang terletak 25 tahun cahaya dari Bumi di konstelasi Piscis Austrinus.
Fomalhaut b disebut planet "zombie" karena pernah mati dan kemudian bangkit dalam pengetahuan. Planet ini kali pertama terdeteksi lewat citra Hubble pada tahun 2004 dan 2006. Tahun 2010, adanya planet ini tak berhasil dibuktikan. Akhirnya, planet ini dinyatakan "mati".
Namun, observasi pada tahun 2012 membuktikan adanya benda yang bergerak mengelilingi bintang Fomalhaut. Astronom kemudian mengonfirmasi bahwa adanya planet yang kemudian dinamai Fomalhaut b. Jadilah, planet ini bangkit kembali dalam dunia pengetahuan.
Diberitakan Space, Rabu (9/1/2013), Fomalhaut b unik karena orbitnya yang lebar dan periode revolusinya yang luar biasa lamanya, 2.000 tahun.
Fomalhaut b mengorbit secara tidak lazim. Menurut astronom, hal ini bisa dipengaruhi oleh adanya planet lain yang kini belum diketahui. Keberadaan planet itulah yang mungkin melemparkan Fomalhaut b ke orbitnya sekarang.
Observasi menunjukkan, kabut debu di sekitar bintang Fomalhaut merentang 22,5-32,1 miliar km keluar. Fomalhaut b mengorbit bintangnya dengan menembus kabut itu. Jarak terdekat Fomalhaut b dengan bintangnya 4,6 miliar km, sementara yang terjauh 27 miliar km.
Konfirmasi adanya Fomalhaut b diungkapkan oleh astronom dari University of California, Berkeley, Paul Kalas, dalam pertemuan ke-221 American Astronomical Society, Selasa (8/1/2013).
Meski demikian, beberapa astronom belum sependapat jika Fomalhaut b dinyatakan sebagai planet. Tim pimpinan Raphael Galicher dari Dominion Astrophysical Observatory di Victoria, Kanada, misalnya, menyatakan bahwa obyek itu mungkin saja hasil tumbukan.
Apa pun Fomahault b, astronom punya kesempatan untuk mengidentifikasinya, walau masih 20 tahun lagi. Seperti diberitakan Science, Kamis (10/1/2013), tahun 2032, Fomalhaut akan mencapai titik terdekat dengan bintangnya. Tahun itu adalah tahun pembuktian.
sumber : sains.kompas.com
Bukit Pasir Mempermuda Kawah di Titan
Bulan terbesar di planet Saturnus, Titan, mengalami proses "muda" kembali setelah sebagian besar kawahnya tertutup bukit pasir. Menurut pemantauan yang dilakukan wahana milik NASA, Cassini, pasir hidrokarbon di permukaan Titan, perlahan tapi pasti, menutup kawah.
Mayoritas dari satelit milik Saturnus memiliki ribuan kawah. Sedangkan dari 50 persen permukaan Titan yang diobservasi, hanya ditemui 60 kawah. Ini membuat para pakar sulit memperkirakan berapa tepatnya usia Titan. Karena kawah yang lebih banyak, artinya makin tua pula sebuah planet atau satelit.
"Sangat mungkin masih banyak kawah di permukaan Titan. Tapi mereka tidak terlihat dari luar angkasa karena terkikis," kata Catherine Neish, anggota tim radar Cassini, Kamis (17/1/2013).
Neish dan kolega biasanya memperkirakan usia sebuah planet dengan menghitung jumlah kawah di atas permukaannya. "Tapi proses seperti erosi atau bukit pasir yang mengisinya (kawah), sangat mungkin jika permukaannya jauh lebih tua dari yang terlihat," tambah Neish yang juga menulis makalah soal ini dalam jurnal Icarus pada 3 Desember 2012.
Titan adalah satu-satunya bulan dalam sistem tata surya manusia dengan atmosfer tipis. Satu-satunya pula benda langit selain Bumi yang diketahui memiliki danau dan laut di permukaannya.
Meski demikian, Titan memiliki suhu ekstrem bagi manusia. Di mana suhu permukaannya mencapai minus 178 Celcius. Hujan yang turun di Titan pun bukanlah air, melainkan metana dan etana cair, senyawa yang biasanya menjadi gas di Bumi.
Neish dan timnya menyimpulkan penemuan ini setelah membandingkan kawah di permukaan Titan dengan salah satu bulan milik Jupiter, Ganymede. Bulan terakhir disebut hampir mirip Titan dan memiliki kerak es.
Dengan demikian, kawah di kedua permukaannya harusnya memiliki bentuk sama. Perbedaannya, Ganymede nyaris tidak memiliki atmosfer, angin, atau hujan untuk mengikis permukaannya.
sumber : sains.kompas.com
Langganan:
Postingan (Atom)