Senin, 25 Maret 2013
Satu Lagi Tanda Keberadaan Air di Mars Ditemukan
Mesin penjelajah Mars milik NASA , Curiosity, kembali menyuguhkan informasi baru. Dengan peralatan buatan Rusia, Dynamic Albedo of Neutrons (DAN), Curiosity menemukan bukti adanya hidrogen di Mars yang bisa menjadi petunjuk adanya air.
Deteksi akan keberadaan hidrogen tersebut diperoleh dalam penjelajahan Curiosity di daerah yang sangat kering di Mars. Dalam penjelajahannya, mesin itu mendeteksi kebanyakan hidrogen berada dalam bentuk molekul air (H2O) yang berikatan dengan mineral.
"Kami melihat variasi sinyal di sepanjang lintasan dari tempat pendaratan menuju Teluk Yellowknife," kata Maxim Litvak dari Space Research Institute Moscow yang juga DAN Deputy Principal Investigator.
"Lebih banyak air terdeteksi di Teluk Yellowknife daripada lokasi sebelumnya. Meski demikian, di Teluk Yellowknife kami juga melihat adanya perbedaan yang signifikan," tambahnya seperti dikutip Physorg, Senin (18/3/2013).
Tim peneliti juga menjelaskan bahwa mereka menemukan indikasi bahwa proses lingkungan basah yang memproduksi tanah liat (clay) di Teluk Yellowknife terjadi tanpa membuat banyak perubahan pada campuran elemen kimia yang ada saat ini.
Komposisi elemen dari batuan permukaan yang digali oleh Curiosity cocok dengan komposisi batuan basal. Batuan yang digali mengandung proporsi elemen penyusun, seperti silikon, aluminum, magnesium, dan besi yang menyerupai komposisi batuan basal.
"Komposisi unsur dalam batuan di Yellowknife tidak berubah banyak oleh perubahan mineral," kata anggota tim peneliti lain misi ini, Mariek Schmidt, dari Brock University di Kanada.
"Setelah membersihkan debu, kami mendapat hasil analisis yang menunjukkan kalau klasifikasi batuan di sana adalah batuan dengan komposisi seperti batuan basal," jelasnya.
Sebelum debu yang melekat di batuan dibersihkan, peneliti sempat kebingungan karena komposisi debu tersebut. Berdasarkan hasil analisis instrumen Alpha Particle X-ray Spectrometer (APXS), komposisi unsurnya kurang sesuai untuk dikategorikan sebagai batuan basal karena ada sulfur.
Namun, setelah debu tersebut dibersihkan oleh Curiosity menggunakan sikat, APXS melihat tidak terlalu banyak sulfur di batuan tersebut. Hal ini yang mengindikasikan kalau batuan itu memiliki komposisi unsur yang serupa dengan batuan basal.
Peneliti menduga, batu-batuan dasar di Yellowknife terbentuk ketika batuan basal original hancur menjadi pecahan, kemudian mengalami perpindahan dan terkumpulkan kembali sebagai partikel sedimen dan berubah secara mineral ketika terkena air.
sumber : sains.kompas.com
Sabtu, 23 Maret 2013
Batu Putih "Tintina" dan Misteri Air di Mars
Robot milik NASA yang tengah menjalankan misi di Mars, Curiosity, secara
tidak sengaja menghancurkan batu dengan interior berwarna putih.
Penemuan batu putih di lokasi berjuluk "Planet Merah" itu makin
menguatkan pernah adanya air di Mars.
Sebab, warna putih ini mengindikasikan mineral terhidrasi yang terbentuk ketika air mengalir di masa lampau. Demikian hasil penemuan ini dimumkan oleh anggota misi Curiosity di 44th Lunar and Planetary Science Conference (LPSC) di Woodlands, Texas, Amerika Serikat, Selasa (19/3/2013).
Curiosity menemukan Tintina (nama batu putih itu) ketika menjelajahi Kawah Gale di dekat ekuator Mars pada Minggu (17/3/2013). Penemuan tidak sengaja ini terjadi ketika Curiosity menginjak Tintina dan membuka isi di dalamnya.
"Ini adalah salah satu benda paling terang dan paling putih yang pernah kami lihat menggunakan Mastcam di Kawah Gale," kata Melissa Rice dari The California Institute of Technology (Caltech).
Tintina, tambah Rice, memiliki sinyal hidrasi tinggi yang berhubungan dengan semua materi putih yang ada di dalam batu. Ini mengherankan bagi para peneliti karena sinyal hidrasi lain tidak tampak dalam imaji Mars yang ditampilkan Curiosity.
Penemuan ini hanya berselang sepekan setelah Curiosity menemukan mineral liat dalam batu yang digalinya. Zat-zat yang terkandung di dalamnya termasuk belerang, nitrogen, hidrogen, oksigen, fosfor, dan karbon—mengindikasikan bahwa Mars pernah menunjang kehidupan.
Kepala peneliti John Grotzinger menyebutkan, pihaknya sangat antusias dengan penemuan Tintina. Hal ini juga menunjukkan bahwa Kawah Gale merupakan lingkungan yang bisa didiami.
Sebab, warna putih ini mengindikasikan mineral terhidrasi yang terbentuk ketika air mengalir di masa lampau. Demikian hasil penemuan ini dimumkan oleh anggota misi Curiosity di 44th Lunar and Planetary Science Conference (LPSC) di Woodlands, Texas, Amerika Serikat, Selasa (19/3/2013).
Curiosity menemukan Tintina (nama batu putih itu) ketika menjelajahi Kawah Gale di dekat ekuator Mars pada Minggu (17/3/2013). Penemuan tidak sengaja ini terjadi ketika Curiosity menginjak Tintina dan membuka isi di dalamnya.
"Ini adalah salah satu benda paling terang dan paling putih yang pernah kami lihat menggunakan Mastcam di Kawah Gale," kata Melissa Rice dari The California Institute of Technology (Caltech).
Tintina, tambah Rice, memiliki sinyal hidrasi tinggi yang berhubungan dengan semua materi putih yang ada di dalam batu. Ini mengherankan bagi para peneliti karena sinyal hidrasi lain tidak tampak dalam imaji Mars yang ditampilkan Curiosity.
Penemuan ini hanya berselang sepekan setelah Curiosity menemukan mineral liat dalam batu yang digalinya. Zat-zat yang terkandung di dalamnya termasuk belerang, nitrogen, hidrogen, oksigen, fosfor, dan karbon—mengindikasikan bahwa Mars pernah menunjang kehidupan.
Kepala peneliti John Grotzinger menyebutkan, pihaknya sangat antusias dengan penemuan Tintina. Hal ini juga menunjukkan bahwa Kawah Gale merupakan lingkungan yang bisa didiami.
sumber : sains.kompas.com
Jumat, 22 Maret 2013
Foto Cassini Tunjukkan "Bekas Luka" di Bulan Saturnus
Tanggal 10 Maret 2013 lalu, NASA menerima beberapa citra tentang bulan
Saturnus, Rhea, yang berhasil dipotret oleh wahana antariksa Cassini
pada hari sebelumnya.

"Silakan pandangi, amati, dan cermati pemandangan yang indah dan menakjubkan dari dunia lain ini. Gambar-gambar ini akan menjadi citra close-up terakhir bulan ini yang bisa Anda lihat," kata Carolyn Porco, ketua tim pencitraan Cassini, seperti dikutip Space.com, Jumat (15/3/2013) lalu.
Perjumpaan terakhir wahana Cassini dengan Bulan Rhea dilakukan dengan lintasan dekat yang berjarak 997 km. Perlintasan jarak dekat Cassini terhadap bulan milik Saturnus yang berdiameter 1.527 km itu dirancang untuk menghitung medan gravitasi bulan tersebut.
Saat melintas, Cassini diatur untuk mengambil 12 gambar dari Rhea yang menunjukkan berbagai "bekas luka" yang ada di permukaan bulan yang dingin itu. "Bekas luka" mencakup gambar cekungan atau kawah dan retakan panjang misterius yang disebut "graben".
Rhea adalah bulan kedua terbesar dari
60 bulan yang dimiliki Saturnus. Bulan ini ditemukan kali pertama oleh
Giovanni Domenico Cassini, seorang ahli matematika dan astronom, pada
tahun 1672.
Rhea berdiameter 1.528 km, jauh lebih kecil dari bulan terbesar Saturnus, Titan, yang berukuran 5.150 km. Bulan ini memiliki atmosfer yang ringan, yang didominasi oleh oksigen dan karbon dioksida.
Berdasarkan hasil penelitian pada tahun 2010 lalu, oksigen pada Rhea dibebaskan dari es di permukaannya lewat aliran partikel bermuatan. Sementara itu, asal usul karbon dioksida masih misterius.
Cassini merupakan kerja sama NASA dengan European Space Agency (ESA) dan Italian Space Agency yang diluncurkan pada 1997. Cassini sampai di Saturnus pada tahun 2004. Sejak saat itu, wahana ini terus mempelajari Saturnus berikut bulan-bulan yang dimilikinya. Misi ini akan terus dilanjutkan sampai tahun 2017.
Rhea berdiameter 1.528 km, jauh lebih kecil dari bulan terbesar Saturnus, Titan, yang berukuran 5.150 km. Bulan ini memiliki atmosfer yang ringan, yang didominasi oleh oksigen dan karbon dioksida.
Berdasarkan hasil penelitian pada tahun 2010 lalu, oksigen pada Rhea dibebaskan dari es di permukaannya lewat aliran partikel bermuatan. Sementara itu, asal usul karbon dioksida masih misterius.
Cassini merupakan kerja sama NASA dengan European Space Agency (ESA) dan Italian Space Agency yang diluncurkan pada 1997. Cassini sampai di Saturnus pada tahun 2004. Sejak saat itu, wahana ini terus mempelajari Saturnus berikut bulan-bulan yang dimilikinya. Misi ini akan terus dilanjutkan sampai tahun 2017.
sumber : sains.kompas.com
Voyager Mencapai Batas Luar Tata Surya
Wahana antariksa Voyager 1 yang diluncurkan tahun 1977 untuk
mengekplorasi planet-planet yang ada di luar sabuk asteroid, seperti
Jupiter, Saturnus, Uranus, dan Neptunus, kini telah melewati daerah baru
dalam perjalanannya keluar dari Tata Surya.
Hal ini terungkap dari dua perubahan kondisi lingkungan luar angkasa yang sangat berbeda dan saling terhubung, yang terdeteksi oleh wahana tersebut pada lokasi yang berjarak lebih dari 18 miliar km dari Bumi pada tanggal 25 Agustus 2012 lalu.
Satelit Voyager 1 menangkap perubahan yang drastis pada tingkatan radiasi, di mana satu radiasi berasal dari lingkungan di dalam sistem Tata Surya dan satunya lagi datang dari interstellar space.
Bill Webber, Astronom di New Mexico State University di Meksiko, mengatakan, pada heliosphere, Voyager 1 mendeteksi partikel yang ada di dalam sistem Tata Surya menurun kurang dari 1 persen dari yang terdeteksi sebelumnya. Sementara radiasi interstellar space meningkat hampir dua kali lipat.
Meski demikian, peneliti belum menyatakan bahwa Voyager 1 sudah berada di interstellar space, suatu ruang di luar angkasa yang tidak lagi dipengaruhi oleh efek dari Matahari.
Edward Stone, peneliti yang terlibat dalam proyek Voyager, mengatakan, masih diperlukan bukti tambahan yang mengindikasikan Voyager telah meninggalkan sistem Tata Surya.
“Perubahan arah medan magnet adalah indikator penting terakhir yang menandakan bahwa Voyager 1 telah mencapai interstellar space. Hingga saat ini perubahan arah tersebut belum teramati,” jelasnya.
Peneliti menduga bahwa Voyager 1 saat ini mungkin berada di daerah perbatasan antara heliosphere dan interstellar space yang belum pernah diketahui sebelumnya.
“Wahana ini berada di luar heliosphere,” kata Webber yang dikutip Reuters, Rabu (20/3/2013). “Segala hal yang kami ukur berbeda dan ini menarik,” tambahnya.
Pada bulan Desember, Voyager telah mencapai daerah yang disebut magnetic highway, di mana medan magnet yang berasal dari Matahari terhubung dengan medan magnet lain dari interstellar space.
“Kami percaya bahwa ini adalah langkah terakhir dari perjalanan kita menuju interstellar space. Ini diperkirakan dalam beberapa bulan atau beberapa tahun ke depan," kata Stone.
Hal ini terungkap dari dua perubahan kondisi lingkungan luar angkasa yang sangat berbeda dan saling terhubung, yang terdeteksi oleh wahana tersebut pada lokasi yang berjarak lebih dari 18 miliar km dari Bumi pada tanggal 25 Agustus 2012 lalu.
Satelit Voyager 1 menangkap perubahan yang drastis pada tingkatan radiasi, di mana satu radiasi berasal dari lingkungan di dalam sistem Tata Surya dan satunya lagi datang dari interstellar space.
Bill Webber, Astronom di New Mexico State University di Meksiko, mengatakan, pada heliosphere, Voyager 1 mendeteksi partikel yang ada di dalam sistem Tata Surya menurun kurang dari 1 persen dari yang terdeteksi sebelumnya. Sementara radiasi interstellar space meningkat hampir dua kali lipat.
Meski demikian, peneliti belum menyatakan bahwa Voyager 1 sudah berada di interstellar space, suatu ruang di luar angkasa yang tidak lagi dipengaruhi oleh efek dari Matahari.
Edward Stone, peneliti yang terlibat dalam proyek Voyager, mengatakan, masih diperlukan bukti tambahan yang mengindikasikan Voyager telah meninggalkan sistem Tata Surya.
“Perubahan arah medan magnet adalah indikator penting terakhir yang menandakan bahwa Voyager 1 telah mencapai interstellar space. Hingga saat ini perubahan arah tersebut belum teramati,” jelasnya.
Peneliti menduga bahwa Voyager 1 saat ini mungkin berada di daerah perbatasan antara heliosphere dan interstellar space yang belum pernah diketahui sebelumnya.
“Wahana ini berada di luar heliosphere,” kata Webber yang dikutip Reuters, Rabu (20/3/2013). “Segala hal yang kami ukur berbeda dan ini menarik,” tambahnya.
Pada bulan Desember, Voyager telah mencapai daerah yang disebut magnetic highway, di mana medan magnet yang berasal dari Matahari terhubung dengan medan magnet lain dari interstellar space.
“Kami percaya bahwa ini adalah langkah terakhir dari perjalanan kita menuju interstellar space. Ini diperkirakan dalam beberapa bulan atau beberapa tahun ke depan," kata Stone.
sumber : sains.kompas.com
Pluto Akan Menabrak Neptunus?
Pluto, benda langit yang kini dikategorikan sebagai planet kerdil,
mempunyai sekian banyak keunikan. Salah satu keunikan yang dimiliki
adalah orbitnya dalam mengelilingi Matahari sebagai pusat Tata Surya.

Gosip pernah beredar bahwa dengan adanya titik potong tersebut, Pluto suatu saat akan mengalami tabrakan dengan Neptunus. Tabrakan itu boleh jadi menjadi tabrakan benda langit paling besar di Tata Surya. Benarkah?
Studi para astronom membantah hal tersebut. Diuraikan dalam situs web Universe Today, Pluto mempunyai resonansi 3:2 dengan Neptunus. Ini artinya, setiap Neptunus berevolusi tiga kali mengelilingi Matahari, Pluto berevolusi dua kali.
Berdasarkan hal tersebut, Pluto tak akan bertabrakan dengan Neptunus. Keduanya akan selalu berakhir pada posisi yang sama. Hal tersebut memerlukan waktu 500 tahun. Pluto sendiri mengorbit Matahari selama 248 tahun.
Meski demikian, akibat orbit Pluto yang "aneh", fenomena unik memang pernah terjadi. Dahulu, Pluto berjarak lebih dekat dengan Matahari dibandingkan dengan Neptunus. Hal ini pernah terjadi pada 7 Februari 1979 hingga 11 Februari 1999. Sebelumnya, pernah terjadi pula tahun 1700-an.
Pluto ditetapkan sebagai planet kerdil karena beberapa alasan, selain tentang orbit, juga soal ukurannya. Walau bukan planet lagi, studi tentang Pluto terus dilakukan. Terakhir, terungkap bahwa Pluto mungkin mempunyai 10 bulan.
sumber : sains.kompas.com
Selasa, 19 Maret 2013
Seperempat Bintang di Bimasakti Menyimpan "Bumi"
Berdasarkan data yang diperoleh dari teleskop luar angkasa NASA, Kepler,
astronom mengestimasi hampir seperempat bintang yang menyerupai
Matahari di Galaksi Bimasakti menjadi induk dari planet-planet yang
berukuran 1-3 kali ukuran Bumi.
Fakta ini diungkapkan oleh Geoff
Marcy, profesor bidang astronomi di University of California, Berkeley,
ketika diskusi di acara WM Keck Observatory 20th Anniversary Science
Meeting di Hawaii, Kamis (14/3/2013).
Marcy terkejut karena 23 persen bintang serupa matahari yang ada di Galaksi Bimasakti merupakan bintang induk dari planet-planet seukuran Bumi. Planet mengorbit cukup dekat dengan Matahari, seperti halnya Merkurius.
Marcy menduga, sedikitnya ada 17 miliar planet seukuran Bumi yang ada di dalam galaksi Bimasakti. Estimasi ini dilakukan menggunakan data dari teleskop Kepler.
Di sisi lain, data Kepler menunjukkan bahwa planet berukuran lebih kecil dari Bumi tak banyak. Ia ragu bahwa langkanya planet itu akibat mekanisme penghancuran planet-planet kecil di sekitar bintang. Hal itu lebih dipengaruhi kemampuan alat yang masih terbatas.
"Teleskop Kepler didesain untuk menemukan planet yang seukuran Bumi, bukan yang berukuran lebih kecil dari Bumi," kata Marcy.
"Planet yang lebih kecil dari Bumi lebih sulit dideteksi karena planet-planet itu kurang mampu meredupkan cahaya dari bintangnya. Peredupan itu harus lebih besar dibandingkan dengan noise yang muncul agar sebuah planet dapat diamati," ujarnya seperti dikutip Discovery, Jumat (15/3/2013).
Kepler berhasil menemukan planet berukuran kecil bernama Kepler-37b. Ukuran planet itu lebih kecil dari Merkurius.
Marcy terkejut karena 23 persen bintang serupa matahari yang ada di Galaksi Bimasakti merupakan bintang induk dari planet-planet seukuran Bumi. Planet mengorbit cukup dekat dengan Matahari, seperti halnya Merkurius.
Marcy menduga, sedikitnya ada 17 miliar planet seukuran Bumi yang ada di dalam galaksi Bimasakti. Estimasi ini dilakukan menggunakan data dari teleskop Kepler.
Di sisi lain, data Kepler menunjukkan bahwa planet berukuran lebih kecil dari Bumi tak banyak. Ia ragu bahwa langkanya planet itu akibat mekanisme penghancuran planet-planet kecil di sekitar bintang. Hal itu lebih dipengaruhi kemampuan alat yang masih terbatas.
"Teleskop Kepler didesain untuk menemukan planet yang seukuran Bumi, bukan yang berukuran lebih kecil dari Bumi," kata Marcy.
"Planet yang lebih kecil dari Bumi lebih sulit dideteksi karena planet-planet itu kurang mampu meredupkan cahaya dari bintangnya. Peredupan itu harus lebih besar dibandingkan dengan noise yang muncul agar sebuah planet dapat diamati," ujarnya seperti dikutip Discovery, Jumat (15/3/2013).
Kepler berhasil menemukan planet berukuran kecil bernama Kepler-37b. Ukuran planet itu lebih kecil dari Merkurius.
sumber : sains.kompas.com
Selasa, 12 Maret 2013
Foto Pertama Venus Diintip dari Saturnus
Baru-baru ini, NASA memublikasikan dua foto planet Venus yang diambil dari sebuah satelit yang mengorbit di Planet Saturnus.
Satelit yang bernama Cassini, yang merupakan satelit hasil kerjasama antara NASA, European Space Agency, dan Italian Space Agency, telah memotret Venus pada dua posisi berbeda di waktu yang berbeda.
Diberitakan Space, Minggu (3/1/2013), Foto planet Venus pertama diambil tanggal 10 November 2012. Saat itu, Cassini berjarak 802.000 km dari Saturnus, dan kira-kira 1,42 milyar km dari Venus.
Pada foto pertama, Venus tampak seperti titik kecil berwarna putih terang yang terletak di sebelah kanan atas sedikit dari tengah-tengah cincin Saturnus. Ini karena jarak yang begitu jauh antara satelit dengan Venus.
Posisi satelit saat memotret, berada sedikit di bawah cincin saturnus saat satelit berada di balik bayangan Saturnus. Setiap piksel dari foto ini mencakup area seluas 44 km.
Foto kedua memperlihatkan Venus dari Saturnus pada posisi yang berbeda. Pada foto yang diambil pada tanggal 4 Januari 2013, Venus terletak di bagian atas foto, terhimpit diantara Saturnus, lengkungan sayap dan cincin G (cincin tipis yang terletak di bagian luar cincin Saturnus).
Setiap piksel pada foto ini mewakili area seluas 32 km. Jarak antara satelit Cassini dengan kedua planet (Saturnus dan Venus) pada waktu pemotretan ini lebih dekat dibandingkan pemotretan yang pertama. Kali ini, Cassini hanya berjarak 597.000 km dari Saturnus dan 1,37 milyar km dari Venus.
Foto ini bukanlah intipan pertama Cassini. Sebelumnya, Cassini pernah mengambil foto bumi yang begitu memukau, yang menggambarkan posisi bumi dilihat dari planet Saturnus. Foto yang kemudian diberi judul “Dalam Bayangan Saturnus” diambil pada tahun 2006. Foto ini adalah salah satu foto yang paling populer yang berhasil diambil Cassini sampai saat ini.
Satelit Cassini diluncurkan ke luar angkasa pada tahun 1997 dan mulai mengorbit di Saturnus pada tahun 2004. Tugas utama satelit ini dikirim ke Saturnus adalah untuk mempelajari planet bercincin berikut dengan bulan-bulannya yang begitu banyak. Saat ini, satelit ini tengah dalam perpanjangan misinya sampai dengan akhir tahun 2017.
Satelit yang bernama Cassini, yang merupakan satelit hasil kerjasama antara NASA, European Space Agency, dan Italian Space Agency, telah memotret Venus pada dua posisi berbeda di waktu yang berbeda.
Diberitakan Space, Minggu (3/1/2013), Foto planet Venus pertama diambil tanggal 10 November 2012. Saat itu, Cassini berjarak 802.000 km dari Saturnus, dan kira-kira 1,42 milyar km dari Venus.
Pada foto pertama, Venus tampak seperti titik kecil berwarna putih terang yang terletak di sebelah kanan atas sedikit dari tengah-tengah cincin Saturnus. Ini karena jarak yang begitu jauh antara satelit dengan Venus.
Posisi satelit saat memotret, berada sedikit di bawah cincin saturnus saat satelit berada di balik bayangan Saturnus. Setiap piksel dari foto ini mencakup area seluas 44 km.
Foto kedua memperlihatkan Venus dari Saturnus pada posisi yang berbeda. Pada foto yang diambil pada tanggal 4 Januari 2013, Venus terletak di bagian atas foto, terhimpit diantara Saturnus, lengkungan sayap dan cincin G (cincin tipis yang terletak di bagian luar cincin Saturnus).
Setiap piksel pada foto ini mewakili area seluas 32 km. Jarak antara satelit Cassini dengan kedua planet (Saturnus dan Venus) pada waktu pemotretan ini lebih dekat dibandingkan pemotretan yang pertama. Kali ini, Cassini hanya berjarak 597.000 km dari Saturnus dan 1,37 milyar km dari Venus.
Foto ini bukanlah intipan pertama Cassini. Sebelumnya, Cassini pernah mengambil foto bumi yang begitu memukau, yang menggambarkan posisi bumi dilihat dari planet Saturnus. Foto yang kemudian diberi judul “Dalam Bayangan Saturnus” diambil pada tahun 2006. Foto ini adalah salah satu foto yang paling populer yang berhasil diambil Cassini sampai saat ini.
Satelit Cassini diluncurkan ke luar angkasa pada tahun 1997 dan mulai mengorbit di Saturnus pada tahun 2004. Tugas utama satelit ini dikirim ke Saturnus adalah untuk mempelajari planet bercincin berikut dengan bulan-bulannya yang begitu banyak. Saat ini, satelit ini tengah dalam perpanjangan misinya sampai dengan akhir tahun 2017.
sumber : sains.kompas.com
Kehidupan Bisa Dicari di Sekeliling Bintang Sekarat
21.31
No comments
Kehidupan mungkin saja ditemukan di tempat yang terduga, seperti di
sekeliling bintang sekarat seperti bintang katai putih hingga di
lingkungan yang berdekatan dengan lubang hitam.
Avi Loeb dari
Harvard University dan Dan Maoz dari Tel Aviv University melakukan
eksperimen dengan membuat spektrum buatan, menguji kemampuan teknologi
teleskop di masa yang akan datang menemukan planet yang mendukung
kehidupan.
Kedua peneliti itu melakukan simulasi pencarian parameter kehidupan (biomarkers) di luar angkasa berbasis teknologi teleskop luar angkasa James Webb Space Telescope (JWST) milik NASA yang akan diluncurkan beberapa tahun yang akan datang.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa teleskop JWST mampu menangkap gambaran tentang beberapa tanda kehidupan seperti keberadaan oksigen (O2) dan juga keberadaan air (H2O) namun pada kondisi tertentu.
Kondisi yang dimaksudkan adalah kondisi dimana planet yang akan diamati berada pada posisi transit terbaik yang bisa dilihat melalui teleskop. Sinar yang dipancarkan oleh bintang induk saat menjadi latar belakang disaat planet transit tidak terlalu terang.
Cahaya bintang induk yang terlalu terang bisa mengganggu proses pengamatan, karena bisa ‘menghilangkan’ sinyal yang muncul dari planet tersebut. Teknik pengamatan planet pada saat transit seperti ini disebut teknik transmission spectroscopy.
Loeb dan Maoz berpendapat, pengamatan bisa dilakukan pada planet yang mengorbit pada bintang yang memasuki fase katai putih. Bintang katai putih adalah bintang dengan bobot rendah, kurang dari 8 kali bobot matahari kita, yang berada pada tahap akhir evolusinya.
“Mendeteksi pertanda kehidupan di atmosfir planet yang menyerupai Bumi disekitar bintang berukuran normal menggunakan JWST, bisa disebut sangat menantang jika tidak ingin disebut mustahil”, kata Maoz seperti dikutip Space, Kamis (28/02/2013).
“Kesulitan diakibatkan sinyal yang sangat lemah, yang tersembunyi dibalik cahaya bintang induknya. Kebaruan dari gagasan ini, seandainya bintang induknya katai putih, maka pancaran sinar dari bintang itu sudah sangat berkurang,” jelasnya.
Hingga saat ini memang belum ada satu pun planet yang mengorbit pada bintang white draft yang berhasil dideteksi. Akan tetapi, dengan menggunakan JWST, penemuan planet layak huni dan kehidupan di dalamnya bukanlah hal yang mustahil.
Kedua peneliti itu melakukan simulasi pencarian parameter kehidupan (biomarkers) di luar angkasa berbasis teknologi teleskop luar angkasa James Webb Space Telescope (JWST) milik NASA yang akan diluncurkan beberapa tahun yang akan datang.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa teleskop JWST mampu menangkap gambaran tentang beberapa tanda kehidupan seperti keberadaan oksigen (O2) dan juga keberadaan air (H2O) namun pada kondisi tertentu.
Kondisi yang dimaksudkan adalah kondisi dimana planet yang akan diamati berada pada posisi transit terbaik yang bisa dilihat melalui teleskop. Sinar yang dipancarkan oleh bintang induk saat menjadi latar belakang disaat planet transit tidak terlalu terang.
Cahaya bintang induk yang terlalu terang bisa mengganggu proses pengamatan, karena bisa ‘menghilangkan’ sinyal yang muncul dari planet tersebut. Teknik pengamatan planet pada saat transit seperti ini disebut teknik transmission spectroscopy.
Loeb dan Maoz berpendapat, pengamatan bisa dilakukan pada planet yang mengorbit pada bintang yang memasuki fase katai putih. Bintang katai putih adalah bintang dengan bobot rendah, kurang dari 8 kali bobot matahari kita, yang berada pada tahap akhir evolusinya.
“Mendeteksi pertanda kehidupan di atmosfir planet yang menyerupai Bumi disekitar bintang berukuran normal menggunakan JWST, bisa disebut sangat menantang jika tidak ingin disebut mustahil”, kata Maoz seperti dikutip Space, Kamis (28/02/2013).
“Kesulitan diakibatkan sinyal yang sangat lemah, yang tersembunyi dibalik cahaya bintang induknya. Kebaruan dari gagasan ini, seandainya bintang induknya katai putih, maka pancaran sinar dari bintang itu sudah sangat berkurang,” jelasnya.
Hingga saat ini memang belum ada satu pun planet yang mengorbit pada bintang white draft yang berhasil dideteksi. Akan tetapi, dengan menggunakan JWST, penemuan planet layak huni dan kehidupan di dalamnya bukanlah hal yang mustahil.
sumber : sains.kompas.com
Sabtu, 09 Maret 2013
Hartley 2: Komet yang Aneh
Komet Hartley 2, secara resmi dikenal sebagai 103P/Hartley, mengunjungi tata surya bagian dalam setiap 6,5 tahun. Komet ditemukan pada tahun 1986 dan menerima kunjungan dari misi NASA, EPOXI, pada tahun 2010. Hal ini diharapkan kembali pada bulan April 2017.
Meskipun sering berkunjung ke matahari, komet ini masih memiliki tubuh kecil yang sangat aktif. NASA menyebut Hartley 2 sebuah "komet sedikit aneh", dan satu astronom NASA menandai Hartley 2 sebagai "sebuah komet kecil yang hiperaktif, memuntahkan air lebih dari komet lainnya kebanyakan ukurannya."
Para ilmuwan mempelajari komet kecil yang telah meningkatkan kemungkinan bahwa komet lebih berperilaku dengan cara yang sama, terutama jika mereka membawa banyak karbondioksida atau monoksida dalam komposisi mereka.
Kunjungan Hartley 2 oleh EPOXI juga mengungkapkan beberapa penemuan ilmiah yang aneh, seperti "blok berkilauan" pada kedua ujung komet.
Tertangkap oleh sebuah kontrol berkualitas
Hartley 2 dinamai penemunya, Malcolm Hartley, astronom yang bekerja untuk Siding Spring Observatory di New South Wales, Australia. Dia telah memegang beberapa peran di fasilitas selama bertahun-tahun, namun pada bulan Maret 1986 dia adalah seorang pengendali kualitas memeriksa akurasi gambar yang diambil oleh teleskop Schmidt.Pada tanggal 16 Maret tahun itu, ia melihat noda yang aneh di piring kaca fotografi. "Waktu itu, pengamatan datang negatif - bintang dan benda-benda lain di langit muncul hitam pada latar belakang yang jelas," kata Hartley dalam wawancara yang disiarkan oleh NASA pada tahun 2011.
"Saya melihat kabut gelap di sekitar jejak Trails dan menunjukkan sesuatu yang bepergian cepat melalui langit, tapi asteroid tidak memiliki kabut.. Jadi saya pikir mungkin komet."
Penemuannya telah dikonfirmasi oleh pusat planet minor International Astronomical Union beberapa hari setelah penemuan. Hartley menemukan setidaknya 10 komet lebih selama karirnya, sampai Siding Spring mengubah teleskop Schmidt ia digunakan untuk melakukan spektroskopi pada tahun 2002.
Meskipun sering berkunjung ke matahari, komet ini masih memiliki tubuh kecil yang sangat aktif. NASA menyebut Hartley 2 sebuah "komet sedikit aneh", dan satu astronom NASA menandai Hartley 2 sebagai "sebuah komet kecil yang hiperaktif, memuntahkan air lebih dari komet lainnya kebanyakan ukurannya."
Para ilmuwan mempelajari komet kecil yang telah meningkatkan kemungkinan bahwa komet lebih berperilaku dengan cara yang sama, terutama jika mereka membawa banyak karbondioksida atau monoksida dalam komposisi mereka.
Kunjungan Hartley 2 oleh EPOXI juga mengungkapkan beberapa penemuan ilmiah yang aneh, seperti "blok berkilauan" pada kedua ujung komet.
Tertangkap oleh sebuah kontrol berkualitas
Hartley 2 dinamai penemunya, Malcolm Hartley, astronom yang bekerja untuk Siding Spring Observatory di New South Wales, Australia. Dia telah memegang beberapa peran di fasilitas selama bertahun-tahun, namun pada bulan Maret 1986 dia adalah seorang pengendali kualitas memeriksa akurasi gambar yang diambil oleh teleskop Schmidt.Pada tanggal 16 Maret tahun itu, ia melihat noda yang aneh di piring kaca fotografi. "Waktu itu, pengamatan datang negatif - bintang dan benda-benda lain di langit muncul hitam pada latar belakang yang jelas," kata Hartley dalam wawancara yang disiarkan oleh NASA pada tahun 2011.
"Saya melihat kabut gelap di sekitar jejak Trails dan menunjukkan sesuatu yang bepergian cepat melalui langit, tapi asteroid tidak memiliki kabut.. Jadi saya pikir mungkin komet."
Penemuannya telah dikonfirmasi oleh pusat planet minor International Astronomical Union beberapa hari setelah penemuan. Hartley menemukan setidaknya 10 komet lebih selama karirnya, sampai Siding Spring mengubah teleskop Schmidt ia digunakan untuk melakukan spektroskopi pada tahun 2002.
sumber : space.com
Ini Dia Foto Pertama Kelahiran Bayi Planet Alien
Kelahiran planet alien alias planet ekstrasolar berhasil diabadikan
untuk pertama kalinya. Astronom berhasil mengabadikannya dengan Very
Large Telescope di European Southern Observatory, Cile.
Foto menunjukkan gumpalan di sekitar piringan gas dan debu, di sekitar bintang HD 100546. Menurut astronom, gumpalan tersebut merupakan bayi planet gas raksasa, jenis planet seperti Jupiter yang merupakan terbesar di tata surya.
"Sejauh ini, pembentukan planet merupakan sesuatu yang biasa ditangani dengan simulasi komputer saja," kata Sascha Quanz, astronom dari ETH Zurich di Swiss, yang memimpin proyek ini, seperti dikutip Space, Kamis (28/2/2013).
"Jika penemuan ini memang planet yang sedang terbentuk, untuk pertama kali, ilmuwan bisa mempelajari bagaimana proses pembentukan planet serta interaksi planet yang sedang terbentuk dengan lingkungannya," tambahnya.
Bintang HD 10546, yang berada pada jarak 335 tahun cahaya dari Bumi, diketahui telah memiliki sebuah planet, berjarak 6 kali jarak Bumi-Matahari dari bintangnya. Sementara planet yang baru terbentuk ini punya jarak 10 kali lebih jauh dibandingkan saudaranya.
Foto menunjukkan bahwa proses pembentukan planet serupa dengan gambaran para astronom. Bintang terbentuk di awan gas dan debu. Setelahnya, material sisanya mengorbit bintang. Material ini yang berpotensi terbentuk menjadi planet.
Foto menunjukkan adanya struktur di piringan yang mengelilingi bintang, diduga terbentuk akibat interaksi material dengan planet yang sedang terbentuk. Data menunjukkan, gumpalan planet mengalami pemanasan, persis seperti hipotesis proses pembentukan planet.
Gambaran pembentukan planet pertama ini bisa didapatkan berkat instrumen optik NACO di Very Large Telescope. Instrumen menggunakan koronagraf spesial yang mengobservasi langit berbasis inframerah serta mampu menyaring terang cahaya bintang.
Observasi planet ekstrasolar merupakan wilayah astronomi yang kini berkembang. Sementara pencitraan proses kelahiran planet sendiri masih sangat baru. Hasil riset ini dipublikasikan di Astrophysical Journal, Kamis kemarin.
sumber : sains.kompas.com
Komet Pan-STARRS Capai Jarak Terdekat dengan Bumi
Untuk pertama kali dalam 110.000 tahun terakhir, komet Pan-STARRS
memasuki wilayah dalam Tata Surya. Dan, hari ini adalah puncaknya. Komet
ini mencapai jarak terdekatnya dengan Bumi, "hanya" 147 juta kilometer
dari Bumi.
Untuk menuju Bumi, komet Pan-STARRS menempuh jarak yang bukan main jauhnya. Saat ditemukan, jaraknya mencapai ratusan juta kilometer dari Bumi.
Komet ini ditemukan pada 6 Juni 2011 lewat pengamatan dengan teleskop Pan-STARRS di Haleakala, Hawaii. Saat ditemukan, magnitud komet hanya +19. Magnitud menyatakan kecerlangan benda langit. Jika negatif, benda langit sangat terang. Dengan magnitud +19, komet Pan-STARRS sangat redup.
Mencapai jarak terdekat dengan BUmi, logikanya komet ini bisa disaksikan dengan lebih jelas. Namun, ternyata tak demikian.
Analisis astronom amatir Gary W. Kronk seperti dipublikasikan di situs cometchasing.skyhound.com menyatakan bahwa hanya wilayah tertentu saja yang bisa menyaksikannya. Sejak Sabtu (2/3/2012) lalu, komet ini hanya tampak di wilayah 30 derajat Lintang Selatan.
Astronom amatir Ma'rufin Sudibyo mengatakan, waktu terbaik melihat Pan-STARRS dari wilayah ekuator seperti Indonesia bukan pada saat posisi terdekat dengan Bumi, tapi saat perihelion.
Perihelion adalah saat komet mencapai jarak terdekat dengan Matahari. "Simulasi terakhir menunjukkan kalau Pan-STARRS bakal membentuk ekor panjang, sepanjang paling tidak 5 derajat kala di perihelion," kata Ma'rufin lewat percakapan Facebook beberapa waktu lalu.
Perihelion akan dicapai Pan-STARRS pada Minggu (10/2/2013). Meski dikatakan akan tampak terang, magnitud pan-STARRS sendiri nanti hanya +2. Jadi, komet ini masih akan tampak redup.
Wilayah Indonesia sendiri sudah tak bisa melihat komet ini setelah 16 Maret 2013. Pertengahan hingga akhir Maret, giliran belahan utara Bumi yang bisa menyaksikan. Untuk soal pengamatan komet Pan-STARRS, Indonesia memang sedikit sial.
Walau begitu, beberapa foto telah berhasil diabadikan. Astrofotografer Luis Argeric. Ia berhasil menangkap citra komet ini dari Buenos Aires dengan magnitud +4 minggu akhir Februari lalu. paling tidak, foto komet itu bisa mengobati jika keinginan melihat nanti tak terwujud.
Untuk menuju Bumi, komet Pan-STARRS menempuh jarak yang bukan main jauhnya. Saat ditemukan, jaraknya mencapai ratusan juta kilometer dari Bumi.
Komet ini ditemukan pada 6 Juni 2011 lewat pengamatan dengan teleskop Pan-STARRS di Haleakala, Hawaii. Saat ditemukan, magnitud komet hanya +19. Magnitud menyatakan kecerlangan benda langit. Jika negatif, benda langit sangat terang. Dengan magnitud +19, komet Pan-STARRS sangat redup.
Mencapai jarak terdekat dengan BUmi, logikanya komet ini bisa disaksikan dengan lebih jelas. Namun, ternyata tak demikian.
Analisis astronom amatir Gary W. Kronk seperti dipublikasikan di situs cometchasing.skyhound.com menyatakan bahwa hanya wilayah tertentu saja yang bisa menyaksikannya. Sejak Sabtu (2/3/2012) lalu, komet ini hanya tampak di wilayah 30 derajat Lintang Selatan.
Astronom amatir Ma'rufin Sudibyo mengatakan, waktu terbaik melihat Pan-STARRS dari wilayah ekuator seperti Indonesia bukan pada saat posisi terdekat dengan Bumi, tapi saat perihelion.
Perihelion adalah saat komet mencapai jarak terdekat dengan Matahari. "Simulasi terakhir menunjukkan kalau Pan-STARRS bakal membentuk ekor panjang, sepanjang paling tidak 5 derajat kala di perihelion," kata Ma'rufin lewat percakapan Facebook beberapa waktu lalu.
Perihelion akan dicapai Pan-STARRS pada Minggu (10/2/2013). Meski dikatakan akan tampak terang, magnitud pan-STARRS sendiri nanti hanya +2. Jadi, komet ini masih akan tampak redup.
Wilayah Indonesia sendiri sudah tak bisa melihat komet ini setelah 16 Maret 2013. Pertengahan hingga akhir Maret, giliran belahan utara Bumi yang bisa menyaksikan. Untuk soal pengamatan komet Pan-STARRS, Indonesia memang sedikit sial.
Walau begitu, beberapa foto telah berhasil diabadikan. Astrofotografer Luis Argeric. Ia berhasil menangkap citra komet ini dari Buenos Aires dengan magnitud +4 minggu akhir Februari lalu. paling tidak, foto komet itu bisa mengobati jika keinginan melihat nanti tak terwujud.
sumber : sains.kompas.com
Senin, 04 Maret 2013
Ekspedisi Antartika Ungkap Meteorit Raksasa Baru
Batu luar angkasa ditemukan di Antartika. Ukuran batu meteorit tersebut cukup besar. Beratnya mencapai 18 kg.
Tim ilmuwan dari Belgia dan Jepang menemukan meteorit itu saat menjelajahi wilayah dataran tinggi di bagian timur Antartika. Identifikasi awal yang dilakukan menunjukkan bahwa meteorit itu ialah jenis chondrite, jenis meteorit paling umum yang ditemukan.
"Ini adalah meteorit terbesar yang ditemukan di Antartika timur dalam 25 tahun terakhir," kata Vinciane Debaille, geolog dari Universitas Brussels.
"Ini sesuatu yang sangat istimewa. Ketika kau menemukan meteorit di Bumi, ukuran sebenarnya jauh lebih besar saat masih di antariksa," tambahnya seperti dikutip Livescience, Kamis (28/2/2013).
Setiap tahun, banyak ilmuwan mencari meteorit di Antartika. Lingkungan bersalju, dingin, dan ikllim kering membantu mengawetkan batuan antariksa itu.
Ekspedisi Debaille sendiri berhasil menemukan 425 meteorit dalam 40 hari. Total berat meteorit yang berhasil dikumpulkan mencapai 75 kg. Menurut Debaille, timnya mungkin menemukan meteorit Mars dan meteorit pecahan asteroid Vesta.
Tim ilmuwan dari Belgia dan Jepang menemukan meteorit itu saat menjelajahi wilayah dataran tinggi di bagian timur Antartika. Identifikasi awal yang dilakukan menunjukkan bahwa meteorit itu ialah jenis chondrite, jenis meteorit paling umum yang ditemukan.
"Ini adalah meteorit terbesar yang ditemukan di Antartika timur dalam 25 tahun terakhir," kata Vinciane Debaille, geolog dari Universitas Brussels.
"Ini sesuatu yang sangat istimewa. Ketika kau menemukan meteorit di Bumi, ukuran sebenarnya jauh lebih besar saat masih di antariksa," tambahnya seperti dikutip Livescience, Kamis (28/2/2013).
Setiap tahun, banyak ilmuwan mencari meteorit di Antartika. Lingkungan bersalju, dingin, dan ikllim kering membantu mengawetkan batuan antariksa itu.
Ekspedisi Debaille sendiri berhasil menemukan 425 meteorit dalam 40 hari. Total berat meteorit yang berhasil dikumpulkan mencapai 75 kg. Menurut Debaille, timnya mungkin menemukan meteorit Mars dan meteorit pecahan asteroid Vesta.
sumber : sains.kompas.com
Langganan:
Postingan (Atom)